Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan terdapat sejumlah kekeliruan terkait permohonan praperadilan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diajukan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI).

"KPK akan mempelajari poin-poin di praperadilan tersebut dan menentukan langkah lebih lanjut yang dapat dilakukan. Namun jika permohonan praperadilan tersebut dibaca, terdapat sejumlah kekeliruan seperti mengatakan KPK tidak melakukan upaya hukum memadai karena tidak melakukan cekal, DPO dan "red notice", kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Jumat.

KPK telah menerima panggilan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk jadwal sidang praperadilan itu pada Senin (24/9).

"Dalil yang diajukan adalah penghentian penyidikan secara materil. KPK juga disebut tidak melakukan upaya hukum memadai untuk memanggil Sjamsul Nursalim seperti cekal, DPO dan "red notice" terhadap Sjamsul Nursalim dan istri dan meminta hakim untuk menetapkan tiga orang sebagai tersangka," ungkap Febri.

Menurut Febri, pemohon tidak memahami bahwa KPK tidak berwenang melakukan cekal. 

"Pasal 12 ayat (1) huruf b UU KPK mengatur kewenangan KPK adalah memerintahkan pada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri. Tentu tidak masuk akal jika KPK menggunakan kewenangan pencegahan ke luar negeri ini untuk orang yang diketahui berada di luar negeri," kata Febri.

Demikian juga, lanjut Febri, dengan DPO dan "red notice" bahwa harus dipahami, DPO hanya digunakan KPK terhadap tersangka. 

Sedangkan, kata dia, dalam kasus BLBI dengan tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung, saat itu Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim dalam kapasitas sebagai saksi. 

"Pemanggilan secara patut sudah dilakukan dua kali dan bahkan KPK telah bekerja sama dengan otoritas di Singapura untuk menyampaikan panggilan tersebut pada para saksi. Namun tentu KPK memiliki keterbatasan kewenangan jika posisi saksi berada di luar negeri," tuturnya.

Ia mengatakan bahwa KPK tentu akan menghadapi setiap praperadilan yang diajukan dengan strategi yang tepat dan penjelasan lebih sistematis dengan dukungan bukti-bukti akan dilakukan di persidangan nanti.

Pada prinsipnya, kata dia, sepanjang ada bukti permulaan yang cukup maka penyidikan baru dapat dilakukan. 

Menurutnya, akan lebih baik jika pemohon sebagai bagian dari masyarakat ikut mengawal proses persidangan kasus BLBI yang sudah sampai di penghujung saat ini dan tinggal menunggu putusan hakim.

"Jadi, tidak benar ada penghentian penyidikan. Selain UU menegaskan KPK tidak dapat menghentikan penyidikan, justru penyidikan kasus BLBI telah berkembang hingga proses persidangan di tingkat pertama. Terkait dengan pengembangan pada pelaku lain, kami akan mencermati terlebih dahulu fakta persidangan dan pertimbangan hakim nantinya," ujarnya.

Febri menyatakan bahwa KPK sejak awal berkomitmen untuk menangani kasus BLBI.

"Sejak tahun 2013 penyelidikan telah kami lakukan secara hati-hati dan solid untuk membongkar kasus ini," kata Febri.

Sebelumnya, Syafruddin Arsyad Temenggung telah dituntut 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan karena melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki Sjamsul Nursalim sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp4,58 triliun.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018