Saya harapkan KPU menyadari kekeliruannya dan membatalkan PKPU tersebut."
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi II DPR RI Henry Yosodingrat menilai KPU keliru menerjemahkan kesepakatan Komisi II dengan KPU, dan KPU juga keliru membuat aturan soal pelarangan mantan terpidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg).

"Komisi II mendukung KPU soal semangat anti korupsi, tapi bukan pelarangan mantan terpidana kasus korupsi menjadi caleg," kata Henry Yosodiningkat pada diskusi "Polemik PKPU" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa. 

Menurut Henry Yosodiningrat, PKPU No. 20 tahun 2018 yang mengatur soal pelarangan mantan narapidana menjadi caleg bertentangan dengan UU No. 17 tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam UU Pemilu, menurut dia, mengatur bahwa mantan narapidana kasus korupsi, setelah menjalani masa hukuman dan telah melakukan publikasi bahwa dirinya mengakui kesalahan dan menyesal, selanjutnya dapat menjadi caleg.
 
Namun, KPU menerjemahkan lagi dan membuat pasal dalam PKPU yang melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg. "Saya harapkan KPU menyadari kekeliruannya dan membatalkan PKPU tersebut," katanya.

Politisi PDI Perjuangan ini menjelaskan, pada saat KPU melakukan konsultasi Rancangan PKPU di Komisi II DPR RI, waktu itu DPR RI da Pemerintah sesungguhnya menolak pasal pelarangan mantan narapidana kasus narkoba tersebut. "Karena dalam UU Pemilu tidak ada larangan dan UU posisinya lebih tinggi daripada PKPU," katanya.
 
Pada rapat konsultasi tersebut, menurut dia, kemudian disepakati DPR dan Pemerintah mendukung KPU untuk semangat anti korupsi. "Itu maknanya, KPU melakukan imbauan kepada partai politik untuk tidak mengusulkan bakal caleg yang tidak bersih, tapi bukan aturan tertulis," katanya.

Henry yang memiliki latar belakang pengacara itu menegaskan, PKPU yang secara hirarkis lebih rendah dari pada undang-undang (UU) tidak boleh menabrak aturan di atasnya yakni UU dan UUD.Namun, ketika KPU membuat PKPU dan di dalamnya mengatur pelarangan mantan terpidana kasus korupsi menjadi caleg, itu sudah bertentangan dengan UU Pemilu.
 

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018