Jakarta (ANTARA News) -  Berdasarkan Studi Asia Pacific Security Capabilities Benchmark Cisco 2018, perusahaan di Indonesia tidak menindaklanjuti lebih dari separuh peringatan ancaman siber yang mereka terima.

Di antara perusahaan yang mengikuti survei, 67 persen mengatakan bahwa mereka menerima lebih dari 5.000 peringatan setiap harinya.

"Adopsi transformasi digital di Indonesia cukup pesat, bahkan Indonesia menjadi salah satu dengan perkembangan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Namun, tren digital juga membuka celah adanya ancaman keamanan siber," ujar Managing Director Cisco Indonesia, Marina Kacaribu, dalam temu media di Jakarta, Rabu.

Penelitian ini dilakukan oleh peneliti pihak ketiga yang independen, dan diikuti oleh lebih dari 2.000 responden yang menangani isu keamanan dari berbagai perusahaan di Asia Pasifik, termasuk 200 orang responden dari Indonesia.

Berdasarkan riset, Indonesia bahkan memiliki persentase tertinggi (8 persen) di Asia Tenggara untuk responden yang mendapatkan peringatan serangan dengan jumlah 250.000-500.000 per hari, sementara Vietnam di posisi kedua (5 persen), diikuti oleh Singapura, Thailand, dan Filipina (3 persen), serta Malaysia (2 persen).

Studi ini juga menunjukkan bahwa rata-rata 47 persen dari peringatan yang diterima akhirnya  diselidiki. Di antara peringatan yang diselidiki, rata-rata hanya 38 persen yang benar-benar merupakan ancaman serius. Namun, hanya 43 persen yang akhirnya ditindaklanjuti dan diperbaiki.

"Karena kebanyakan perusahaan menangani keamanan hanya seperti menambal ban. Mereka menggunakan banyak solusi, namun sayangnya tidak terintegrasi satu sama lain," kata Marina.

Di hampir di seluruh negara, 41 persen dari perusahaan yang disurvei mengaku menggunakan lebih dari 10 vendor keamanan, sementara 52 persen dari responden mengaku menggunakan lebih dari 10 produk atau solusi keamanan.

Kondisi membuat keamanan perusahaan menjadi semakin rentan, karena penggunaan berbagai produk keamanan yang ada bisa memperpanjang waktu untuk mengidentifikasi dan mengatasi pelanggaran keamanan yang terjadi.

Padahal, hasil penelitian menyoroti betapa besarnya masalah keamanan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan, dimana 96 persen responden mengakui organisasi mereka pernah mengalami masalah keamanan siber pada tahun sebelumnya.

Di antara mereka yang mengalami serangan dalam dua belas bulan terakhir, 66 persen mengatakan mereka mengeluarkan biaya sebesar 500.000 dolar AS atau lebih, sementara 13 persen mengatakan biaya yang mereka keluarkan adalah 5 juta dolar AS atau lebih.

Menurut survei, 40 persen responden mengakui bahwa mereka mendapati infrastruktur operasionalnya telah menjadi sasaran serangan siber. Selain itu, 40 persen dari responden juga memperkirakan serangan serupa akan terjadi pada mereka dalam satu tahun ke depan.

"Pertama, perusahan harus meletakkan keamanan siber sebagai prioritas. Kedua, mengadopsi teknologi terbaru. Ketiga, perusahaan harus mengembangkan talent yang paham dan punya kemampuan untuk menangani itu," ujar Marina.

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018