praktek berkomunikasi di ruang publik mensyaratkan kemampuan pengendalian diri, kedewasaan dalam bersikap serta tanggung-jawab atas setiap ucapan yang hendak atau sedang disampaikan.
Jakarta, (Antara/JACX) - Apa yang berkembang di media sosial belakangan ini mungkin dapat disebut sebagai kecenderungan proses berkomunikasi dalam kategori antikomunikasi. 

Penyampaian pesan, diskusi dan silang pendapat tentang isu-isu politik di media sosial tersebut telah sedemikian rupa mengabaikan hal-hal yang fundamental dalam komunikasi : penghormatan kepada orang lain, empati kepada lawan bicara dan antisipasi atas dampak-dampak ujaran atau pernyataan.  Pada prinsipnya, praktek berkomunikasi di ruang publik mensyaratkan kemampuan pengendalian diri, kedewasaan dalam bersikap serta tanggung-jawab atas setiap ucapan yang hendak atau sedang disampaikan.

Akan tetapi yang terjadi di media sosial dewasa ini adalah trend yang sebaliknya. Begitu mudah orang menumpahkan amarah atau opini negatif tanpa memikirkan perasaan orang lain. Begitu mudah orang memojokkan dan menghakimi orang lain, tanpa berpikir pentingnya memastikan kebenaran informasi atau analisis tentang orang tersebut.

Dan begitu sering orang terlambat menyadari bahwa apa yang diungkapkannya di media sosial telah tersebar kemana-mana, menimbulkan kegaduhan publik dan merugikan pihak tertentu.  Media sosial menampilkan negativitasnya di sini. Kurangnya kedewasaan dan sikap bertanggung jawab sebagian penggunanya membuat proses komunikasi di media sosial menjadi pemicu munculnya perseteruan atau konflik yang tidak produktif.  Ruang media yang seharusnya menjadi sarana pembelajaran dan pencerahan bersama justru menjadi tempat untuk memamerkan sikap acuh-tak-acuh, amarah dan kebencian. Tentu saja hal ini sangat disayangkan karena sesungguhnya media sosial memiliki potensi deliberasi dan demokratisasi sangat besar.  

Media sosial memungkinkan semua orang menjadi subyek, pelaku dan sumber komunikasi, dan tidak sekedar menjadi pembaca atau pemirsa seperti yang terjadi dalam proses komunikasi di media massa. Media sosial mampu mengatasi paradoks komunikasi di media massa di mana mayoritas orang menjadi massa yang pasif dan tidak terlibat dalam proses komunikasi. 

Namun yang lebih memprihatinkan adalah negativitas media sosial itu sepertinya justru diamplifikasi dan diperkuat oleh media massa, khususnya media online dan media televisi. Kekusutan komunikasi politik, kontroversi dan debat kusir di media sosial dalam banyak kasus dilanjutkan di ruang pemberitaan atau bincang-bincang media (talkshow). 

Pola penyajian informasi yang cenderung spontan, serba cepat dan instan di media sosial tidak diimbangi dengan sesuatu yang berbeda, tetapi justru dijadikan mode jurnalistik yang baru oleh media massa konvensional. Akibatnya, saat ini cukup mudah menemukan berita politik yang tidak berimbang, satu sisi, mengabaikan verifikasi sumber kunci atau menggunakan judul yang menghakimi.

Pada awalnya ini hanya menjadi trend di media jurnalistik online, namun pada perkembangannya juga mulai menggejala disemua jenis media.  Pada sisi lain, acara bincang-bincang di televisi umumnya disiarkan secara langsung. Ciri siaran langsung media televisi adalah unpredictability dan irreversibility. Ketidakmungkinan memastikan ujaran dan tindakan para narasumber dan ketidakmungkinan menghapuskan ujaran dan tindakan yang terlanjur terjadi.

Katakanlah ada debat yang berlangsung panas dan menjurus kasar antar narasumber, di mana kata-kata makian atau pernyataan bernada SARA tak terhindarkan, juga akan tersiarkan secara langsung, tanpa bisa disunting terlebih dahulu. 

Secara etis tentu pertanyaannya apakah adegan seperti itu layak ditayangkan kepada khalayak luas di segala umur? Di sini kita berbicara tentang kedudukan media sebagai institusi sosial yang bukan hanya harus mempertimbangkan kepantasan dan kepatutan ruang publik, namun juga secara moral bertanggungjawab mencerahkan masyarakat.
 
Memang seperti dikatakan Zhongdang Pang, konflik adalah oase yang tak pernah kering dalam pemberitaan media. Konflik dan kontroversi selalu memikat untuk di beritakan dan memiliki daya magnetik di hadapan masyarakat. Namun perlu dipersoalkan motif media terhadap konflik atau kontroversi. Apakah motif komodifikasi berdasarkan pertimbangan oplah, rating, hit,ataukah motif sosial membantu masyarakat memahami persoalan, mengambil pelajaran berharga dan mencari jalan penyelesaian?

Persoalan berikutnya adalah bagaimana konflik dan kontroversi diberitakan media? Kode Etik Jurnalistik menegaskan media harus memberitakan secara berimbang, dari dua sisi, tidak berithikat buruk, memenuhi asas praduga tak bersalah dan tidak menghakimi obyek pemberitaan.  Sebagaimana telah diutarakan, etika jurnalistik kini dalam prakteknya semakin lazim diabaikan.Begitu banal pengabaian ini hingga beberapa pihak berpikir untuk merevisi Kode Etik Jurnalistik tersebut karena dianggap kurang relevan dan tidak efektif lagi.

Sampai di sini, terlihat jelas bahwa sesungguhnya kita sedang menghadapi krisis etika media atau etika berkomunikasi. Pada level media massa,wujudnya adalah pengabaian Kode Etik Jurnalistik atau Etika Penyiaran hingga taraf yang banal dan masif. Begitu serius pengabaian itu hingga sebagian awak media mungkin tidak lagi menganggap berita yang tidak berimbang atau menghakimi sebagai sebentuk kesalahan.

Pada level media sosial, krisis itu berwujud tidak adanya standard etika yang menjadi acuan bersama. Kerancuan status media sosial sebagai ruang publik sekaligus ruang privat, sebagai model komunikasi interpersonal, sekaligus komunikasi kelompok dan komunikasi massa menimbulkan kebingungan tentang standard etika mana yang harus digunakan.  Sungguh pun demikian, semua pihak pasti sepakat proses berkomunikasi pada level mana pun tidak mungkin berjalan tanpa etika. Tanpa dilandasi etika, praktek bermedia akan mengarah kepada kekacauan. 

Pada akhirnya, masyarakat yang menanggung kerugian paling besar. Media yang semestinya membantu masyarakat memahami persoalan sosial-politik secara jernih dan obyektif, justru menjadi ajang persitegangan dan perseteruan yang tak berujung. Literasi media jelas diperlukan di sini. 

Namun sasaran utamanya bukan generasi muda atau anak-anak sekolah, tetapi justru para “praktisi” media sendiri: aktivis media sosial, pengamat dan narasumber media, awak redaksi dan pemilik media. Kepada merekalah pertama-tama perlu diingatkan kembali pentingnya kemampuan pengendalian diri, kepekaan terhadap dampak-dampak komunikasi,  serta kedewasaan dalam menghadapi perbedaan pendapat di ruang publik. 

Proses berkomunikasi sekali lagi menuntut kemauan semua yang terlibat untuk menjaga kepatutan dan kepantasan,menghormati orang lain sebagai bentuk penghormatan terhadap diri sendiri, serta untuk menenggang perasaan banyak orang yang menyaksikan proses komunikasitersebut. Mari kita kembalikan esensi komunikasi sebagai sarana untuk berbagi!

*Agus Sudibyo, Direktur Indonesia New Media Watch
Versi cetak artikel ini diterbitkan harian Kompas 18 Oktober 2016, dengan judul "Etika Bermedia dan Kontroversi Politik".


 

Pewarta: Agus Sudibyo*
Editor: Panca Hari Prabowo
Copyright © ANTARA 2018