Jakarta (ANTARA News) - Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga menyasar Warga Negara Indonesia (WNI) yang mengikuti pelatihan militer baik di dalam maupun di luar negeri dengan maksud mempersiapkan atau ikut berperang untuk tindak terorisme di luar negeri.

Pasal 12B ayat (1) dalam RUU Antiterorisme menyebutkan bahwa "Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisrne dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 15 tahun."

Orang yang dengan sengaja merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 15 tahun menurut Pasal 12B ayat (2).

Sementara ayat (3) Pasal 12B menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik maupun nonelektronik untuk digunakan dalam pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

"Kalau setiap orang yang pulang dari Suriah lalu dianggap sebagai teroris, kita tidak punya dasar hukum. Karena itu UU ini membutuhkan definisi terkait motif ideologi, politik dan gangguan keamanan," kata Ketua Pansus Antiterorisme M. Syafi`i di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat.

Dia mengatakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bisa mendeteksi warga yang kembali dari Suriah dan menyertakan mereka yang belum terpapar paham radikal dalam program kontra-radikalisasi.

Sementara orang-orang yang dinilai sudah terpapar paham radikal, menurut dia, bisa diikutkan dalam program deradikalisasi. Hukuman, ia melanjutkan, hanya dikenakan kepada orang-orang yang telah terbukti melakukan aksi teror.

"Saya kira sebuah tindakan yang tidak manusiawi dan melanggar HAM kalau orang pulang dari Suriah, sementara kita tidak tahu mereka berbuat apa, lalu ketika pulang dianggap sebagai teroris," demikian M. Syafi'i.

Baca juga:
RUU Anti-Terorisme juga atur pidana teroris yang libatkan anak
Substansi-substansi baru dalam RUU Anti-Terorisme

 

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018