Jakarta (ANTARA News) - Sedikit yang menyadari bahwa jika ditelisik lebih lanjut ada pola-pola khusus yang terbentuk di media sosial sebagai jejak digital kelompok teroris dalam berkomunikasi.

Bagi masyarakat awam jejak halus yang nyaris sama dengan konten internet yang lain itu barangkali sulit untuk dibedakan dengan informasi yang lain.

Faktanya tidak sedikit yang kemudian terjebak bahkan terhasut menjadi bagian dari kelompok penebar teror hanya dari mendapatkan informasi melalui dunia maya.

Hal inilah yang kemudian perlu diwaspadai seluruh pemangku kepentingan di Indonesia. Sebab perekrutan kelompok teroris lebih dari sekadar persoalan penyebaran ujaran kebencian dan hoax menjelang pemilu.

Terorisme adalah ancaman global terlebih bahwa seiring berjalannya waktu, spektrum ancaman terhadap suatu negara semakin kompleks di mana ancaman tidak hanya bersifat tradisional saja akan tetapi lebih banyak bersifat non tradisional dan seringkali tidak terlihat, salah satunya adalah perang proksi.

Sebagaimana disampaikan pengamat IT dan media sosial Kun Arief Cahyantoro yang menyebut bahwa besarnya penetrasi internet dan media sosial dalam kehidupan sosial masyarakat suatu negara akan berdampak secara positif sekaligus negatif.

Secara positif, dengan internet dapat dikembangkan perekonomian berbasis teknologi komunikasi, sedangkan sisi negatifnya media sosial dapat dipakai untuk menyebarkan pesan-pesan provokatif dan ujaran kebencian serta hoax yang dapat memecah belah suatu bangsa.

Perpecahan inilah yang akan berkembang menjadi perang proksi baik disadari atau tidak.

Di sisi lain bahwa kelompok radikal melalui media sosial akan mengambil peranan yang sangat besar dalam memberikan informasi kepada publik khususnya kaum muda.

Menurut dia, media sosial memegang peran penting dalam memberikan informasi ke publik terhadap isu-isu radikalisme sehingga masyarakat mudah terprovokasi.

Cara yang dilakukan pada tahap awal umumnya dengan membangun sebuah situs khusus sebagai medium untuk melakukan koordinasi semua kegiatan yang terkait dalam pelaksanaan rencana aksi radikal sekaligus penyebaran paham yang keliru.



Internet perekrut

Dalam perkembangannya ketika virus terorisme sudah menyebar maka aksi kelompok radikal bisa terjadi di belahan dunia manapun tidak terkecuali di Indonesia.

Ketika dalam perkembangannya, jaringan teroris di Indonesia tak disangka ternyata lebih besar dan lebih berpengalaman dari yang selama ini dipikirkan oleh banyak pihak.

Analis International Crisis Group (ICG) mengatakan perekrutan anggota baru dalam jaringan terorisme ternyata dilakukan dengan sangat mudah, jaringannya pun terus berkembang dan semakin meluas di Tanah Air.

Pola terorisme faktanya memang terus berubah dan berkembang sedangkan pada permukaan pada intinya tetap merencanakan suatu tindakan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang melanggar hukum untuk menanamkan rasa takut yang sangat efektif digunakan sebagai alat strategis dalam menghadapi lawan yang dihadapinya.

Bagaimanapun terorisme telah berkembang dengan luar biasa dengan menerapkan strategi perang abad 21, mereka juga selalu beradaptasi dengan perubahan sosial politik dunia serta lingkungan.

Beberapa perubahan itu telah mampu memfasilitasi kemampuan dari teroris dalam beroperasi, memperoleh dana, dan mengembangkan kemampuan baru.

Perubahan lain adalah secara perlahan terorisme telah bergerak membangun hubungan yang berbeda menuju dunia yang lebih luas.

Kun Arief mengamati di era digital saat ini kelompok jaringan teroris banyak merekrut anggotanya lewat media internet, karena metode ini lebih mudah diakses lewat telepon genggam, seseorang bisa melihat perkembangan yang terjadi di belahan dunia lain dalam waktu bersamaan.

Mereka merekrut melalui media internet atas beberapa kelebihan di antaranya media internet yang dianggap memiliki jangkauan yang luas.

Jangkauan yang luas dalam melakukan perekrutan anggota melalui media internet, ISIS tidak lagi terbatas hanya di Irak dan Suriah saja tetapi bisa memperluas jangkauannya hingga ke seluruh dunia, penyebaran ajaran radikal bebas dan sugesti-sugesti mengenai keyakinannya dapat disebarkan ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia sehingga akan lebih mudah dalam proses perekrutan.

Media internet juga relatif berbiaya lebih murah, karena perekrutan anggota melalui internet tentu akan menekan biaya pengeluaran yang dibutuhkan, karena lebih murah maka dana lebih yang awalnya dialokasikan untuk melakukan perekrutan dapat dialihkan untuk biaya perlengkapan seperti senjata, kendaraan, dan lain sebagainya.

Dengan internet juga waktu yang dibutuhkan relatif cepat dibandingkan jika sebelumnya untuk merekrut anggota perlu mendatangi setiap negara secara langsung dengan maksud memberikan sugesti dan doktrin-doktrin radikal menghabiskan waktu yang tidak sebentar.

Maka saat ini melalui media internet tidak harus lagi langsung mendatangi negara yang bersangkutan, cukup memposting ajaran mereka melalui artikel yang dapat disebarkan melalui media internet yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja.

Melalui internet juga bisa menjaring lebih banyak anggota, dalam penyebaran ajaran radikal dan melalui media internet tentu saja dapat lebih mudah dibaca dan dibuka oleh siapa saja baik dari golongan anak, remaja, juga dewasa sehingga membuat ajaran lebih cepat tersebar dibandingkan perekrutan secara konvensional.



Tahapan perekrutan

Moch. Faisal Salam dalam bukunya berjudul Motivasi Tindakan Terorisme menuliskan ada beberapa tahapan proses radikalisasi terhadap diri seseorang.

Tahap pertama yakni perekrutan dimana sebuah organisasi teroris melakukan perekrutan terhadap anggotanya.

Perekrutan ini berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh organisasi tersebut seperti umur, agama, tingkat pendidikan, perekonomian, status sosial, dan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya yang terjadi di Indonesia target radikalisasi meliputi mereka yang direkrut adalah mayoritas laki-laki, usia berkisar antara 16 sampai 35 tahun, kurang pengetahuan dan pemahaman tentang Islam, tingkat ekonomi beragam ada yang dari tidak mampu maupun dari keluarga mampu, dan tingkat pendidikan rata-rata setingkat SMA atau MAN atau pondok pesantren dan hanya sedikit yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi.

Kemudian jika sudah direkrut akan dilakukan tahap pengindentifikasian diri yang merupakan tahapan terpenting dalam radikalisasi, yang bertujuan untuk membuat target memiliki krisis identitas hingga berada di dalam kondisi yang tidak stabil dan kehilangan identitas diri, caranya mereka dibuat selalu tidak puas akan kondisi ekonomi, sosial, dan politik selain itu target juga dibuat agar tidak kritis.

Setelah itu tahap indoktrinasi di mana target diberikan paham atau ideologi teroris secara intensif, tujuan utama dari tahap ini adalah membuat target menjadi percaya dan yakin sepenuhnya, bahwa ajaran yang ditanamkan kepada mereka merupakan kebenaran mutlak, dan tidak perlu dibantah atau dikritisi lagi.

Terakhir yakni tahap pengertian jihad yang disesatkan yang dalam tahap ini target sudah termasuk ke dalam kelompok kecil dari organisasi radikal atau teroris, akan menerima kewajiban secara pribadi untuk ikut serta dalam jihad.

Menurut Faisal Salam tahap ini terdiri dari 4 langkah yaitu komitmen untuk melakukan teror dengan cara jihad, persiapan dan pelatihan fisik, pelatihan mental, perencanaan serangan teror.

Tahapan itu dapat dilakukan dengan melalui media internet dengan sebelumnya dilakukan langkah pembuatan situs, pembuatan artikel dengan konten-konten radikalisme, tahap ajakan bergabung, dan tahapan bergabung.

Mengingat fakta-fakta yang ada itu, sudah seharusnya pemerintah untuk lebih waspada terhadap penyebaran konten melalui internet.

Sebab bahaya konten internet justru sangat mengancam stabilitas dan keamanan bangsa tanpa disangka-sangka.

Baca juga: Facebook tegaskan tindaklanjuti konten berkaitan terorisme

Baca juga: Menkominfo ajak masyarakat adukan konten terorisme

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018