Jakarta (ANTARA News) - Juru bicara perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia M Ismail Yusanto menegaskan pihaknya akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (TUN) atas putusan PTUN DKI Jakarta yang menolak gugatan atas pencabutan badan hukum HTI pada Senin (7/5).

"Kami menolak putusan hakim PTUN tersebut, karena putusan tersebut berarti telah mensahkan kedzaliman yang dibuat oleh pemerintah. Putusan pencabutan status Badan Hukum dan Pembubaran (BHP) HTI yang dilakukan pemerintah adalah sebuah kedzaliman karena tidak jelas atas dasar kesalahan HTI," kata Ismail dalam jumpa pers di Kantor HTI, Jakarta, Selasa.

Menurut dia, seluruh yang dikatakan oleh saksi ahli dari pemerintah tentang alasan pembubaran HTI adalah asumsi yang tidak pernah dibuktikan secara obyektif di pengadilan.

"Oleh karenanya, HTI berketetapan untuk melawan keputusan itu dengan mengajukan banding," katanya.

Ismail menambahkan putusan hakim PTUN telah nyata-nyata mempersalahkan kegiatan dakwah HTI yang menyebarkan pemahaman tentang syariah dan khilafah.

"Itu sama artinya, mempersalahkan kewajiban Islam dan ajaran Islam, sebuah tindakan yang tidak boleh dibiarkan begitu saja," ucapnya.

Di tempat yang sama, kuasa hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan mengajukan banding terhadap putusan PTUN DKI Jakarta ke Pengadilan Tinggi TUN.

"Kita akan serahkan memori banding ke Pengadilan Tinggi TUN sebelum waktu berakhir pengajuan banding, yakni 20 hari setelah putusan PTUN dikeluarkan. Dalam dua pekan ini kita akan ajukan banding," Yusril.

Ia meminta pemerintah tidak bergembira terlebih dahulu atas putusan PTUN DKI Jakarta itu karena masih ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan oleh HTI.

"Kita bisa melakukan upaya hukum lain atas putusan terkait HTI, baik pengajuan banding, kasasi ke Mahkamah Agung (MA) maupun peninjauan kembali ke (MA) bila HTI kalah dalam persidangan," ujarnya.

Yusril mengatakan sebagai kuasa hukum HTI, dirinya tidak sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan TUN baik atas amar putusan maupun atas pertimbangan-pertimbangan hukumnya yang menurutnya tidak tepat.

Pertama, kata dia, pertimbangan majelis yang menyatakan tergugat tidak memberlakukan Perppu Nomor 2 tahun 2017 (Perppu Ormas) secara surut. Padahal, Menteri Hukum dan HAM baru mendapatkan kewenangan menjatuhkan pencabutan status badan hukum tanggal 10 Juli 2017 sejak Perppu Nomor 2 tahun 2017 diterbitkan.

"Sebelum itu Menteri tidak berwenang sebab kewenangan pencabutan status badan hukum masih milik Pengadilan (sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013)," papar mantan Menkumham ini.

Kedua, pertimbangan majelis yang menyatakan bukti berupa buku dan bukti elektronik berupa video yang dianggap sebagai alat bukti yang sah. Hal itu, tegas dia, jelas keliru karena buku tersebut bukanlah peristiwa hukum (fakta) melainkan sekedar referensi ilmiah.

"Referensi ilmiah itu tidak pernah dikonfirmasi secara sah melalui pemeriksaan yang fair dan objektif. Selanjutnya bukti video yang dijadikan dasar ternyata baru diverifikasi tanggal 19 Desember 2017, tepat lima bulan setelah Surat Keputusan Menkumham Nomor AHU-30A.H.01.08 Tahun 2017. Hal ini membuktikan bahwa bukti baru dicek orisinalitasnya setelah hukuman dijatuhkan," jelasnya.

Ketiga, ihwal pertimbangan hakim yang menyatakan penerbitan SK Menteri tersebut telah sesuai prosedur. Namun pada faktanya, tidak pernah ada pemeriksaan secara langsung kepada penggugat (HTI).

"Tidak pernah ada konfrontir atas keterangan dan bukti sehingga ketiadaan pemeriksaan yang fair dan objektif (due process of law) itu jelas menunjukkan penghukuman dilakukan tanpa prosedur yang cukup," ucapnya.

Baca juga: Pramono: Putusan PTUN buktikan tindakan pemerintah benar

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018