... fakta-fakta yang terungkap selama di persidangan, majelis hakim tidak menemukan fakta tersebut sebagaimana opini yang beredar selama ini...
Pekanbaru, Riau (ANTARA News) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan, opini yang telah terbentuk di masyarakat yang menyebut kelompok Saracen sebagai penyebar ujaran kebencian dan isu suku, agama, ras dan antara golongan (SARA) tidak terbukti.

Hal itu disampaikan hakim Riska, satu dari tiga hakim majelis saat membacakan amar putusan vonis terhadap Jasriadi yang disebut sebagai bos Saracen, di Pekanbaru, Riau, Jumat.

Riska mengatakan, sejak kasus Saracen bergulir, banyak media menyebut Saracen merupakan kelompok penyebar kebencian dan SARA. Akibatnya, opini tersebut melekat di masyarakat hingga berakibat pada disintegrasi bangsa.

"Sejak kasus muncul di media, sudah terbentuk opini bahwa Saracen bersifat negatif untuk menyebarkan ujaran kebencian. Yang mengacu pada Sara, yang berakibat pada disintegrasi bangsa," kata Hakim Riska membacakan putusan dengan sidang yang dipimpin Asep Koswara.

Sementara itu, Riska melanjutkan berdasarkan fakta-fakta persidangan menyimpulkan tuduhan yang sejak awal kasus itu bergulir tidak terbukti.

Jasriadi yang menjadi pengelola website Saracen tidak terbukti mengunggah ujaran kebencian termasuk menerima aliran dana ratusan juta rupiah seperti dituduhkan kepada pria 33 tahun itu.

Begitu juga terkait tuduhan Jasriadi membuat 800.000 akun facebook anonim untuk menyebarkan SARA dan ujaran kebencian.

"Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap selama di persidangan, majelis hakim tidak menemukan fakta tersebut sebagaimana opini yang beredar selama ini," lanjutnya.

"Terdakwa Jasriadi tidak terbukti menerima uang ratusan juta rupiah maupun membuat 800.000 akun anonim. Bahwa menjadi tugas dan kewajiban majelis hakim untuk menilai kebenaran keterangan saksi dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh penyesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain dan penyesuaian alat bukti," ujarnya lagi.

Kasus Saracen mencuat pada Agustus 2017 silam. Saat itu, Jasriadi ditangkap polisi di rumahnya, di Jalan Kasa, Kota Pekanbaru.

Dia ditangkap setelah sebelumnya polisi menangkap dua orang lainnya, Sri Rahayu Ningsih dan Muhammad Tonong. Jasriadi juga disebut sebagai ketua sindikat itu, yang juga dituduh menerima aliran dana hingga ratusan juta rupiah dari pihak tertentu.

Namun, saat kasus bergulir ke Kejaksaan Negeri, dakwaan yang disusun sama sekali tidak menyebut Jasriadi mengunggah ujaran kebencian, SARA dan menerima aliran dana.

JPU Kejaksaan Negeri Pekanbaru hanya mendakwa Jasriadi menyintas akses ilegal terhadap akun facebook Ningsih, yang telah divonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Cianjur Jawa Barat. Selain itu, Jasriadi juga didakwa melakukan pemalsuan identitas diri.

Dalam perkara manipulasi data ini, JPU sebelumnya menuduh terdakwa Jasriadi melakukan pemalsuan KTP atas nama Suarni lalu merubah nama saksi Suarni menggunakan aplikasi photoshop menjadi Saracen.

Namun hakim menyatakan dakwaan itu tidak terbukti.

Dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan Jasriadi hanya terbukti melakukan akses ilegal media sosial Facebook dengan hukuman 10 bulan penjara.

Koswara, menyatakan, Jasriadi terbukti melanggar pasal 46 ayat (2) jo pasal 30 ayat (2) UU Nomor 19/2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11/2008 tentang ITE.

Meski kemudian hanya divonis rendah, Jasriadi dan kuasa hukumnya, Dedi Gunawan, tetap menyatakan banding.

Jasriadi kepada awak media mengatakan akan menempuh langkah hukum lebih tinggi terkait putusan itu Dia mengklaim putusan hakim tidak relevan dengan fakta persidangan bahwa sebenarnya dia memperoleh izin dari Ningsih untuk mengakses akun "facebook"nya.

Pewarta: Bayu Adha
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018