Jakarta (ANTARA News) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memaparkan sejumlah isu Hak Asasi Manusia (HAM) Perempuan kepada Komisioner Tinggi HAM PBB Zeid Ra'ad Al Hussein yang tengah melakukan misi resmi ke Indonesia sejak 5 sampai 7 Februari 2018.

Isu HAM perempuan yang menjadi sorotan di antaranya kekerasan terhadap perempuan dan urgensi Indonesia memiliki UU Penghapusan Kekerasan Seksual, hingga penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.

Menurut Komisioner Komnas Perempuan Yuniyati Chuzaifah di Jakarta, Kamis, pengentasan pelanggaran HAM masa lalu perlu dilakukan agar Indonesia dapat bergerak maju dengan pemenuhan hak korban atas keadilan.

"Kebenaran dan pemulihan berbagai konteks kekerasan, utamanya korban pelanggaran HAM Masa Lalu, seperti Tragedi 65, Papua, Tragedi Mei 98, Aceh dan lainnya," kata Yuniyati.

Dia mengatakan, perlindungan dan dukungan bagi penyintas serta perempuan pembela HAM yang tidak berhenti berjuang dan menyelamatkan diri juga perlu dilakukan, termasuk penyintas dari keluarga dan masyarakat yang menjadi pembela HAM.

Selain itu, pemerintah harus memastikan aktivitas bisnis tidak dijalankan dengan melanggar HAM dan mengadopsi UN Guiding Principle on Business and Human Rights, sebagai respon atas banyaknya konflik SDA.

"Kami juga meminta pemerintah mereformasi sejumlah kebijakan krusial seperti revisi UU KUHP, jangan menimbulkan diskriminasi baru dan mengkriminalkan kelompok-kelompok rentan," kata dia.

Selain itu, Komans Perempuan juga meminta pemerintah menghapuskan UU Penodaan Agama yang selama ini sering digunakan untuk mempidana individu atau kelompok minoritas, dan menyoroti hukuman mati yang tidak terbukti menimbulkan efek jera dan bahwa kejahatan narkotika bukan merupakan kejahatan yang masuk dalam kejahatan yang perlu dijatuhi hukuman mati.

Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Adriana Veny mengatakan, pihaknya juga menyampaikan perlunya merawat Indonesia dengan kepedulian yang serius pada HAM.

"Menjadi teladan HAM dan mempertahankan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang sehat," kata Adriana.

Sementara di bagian yang positif, Komnas Perempuan mengapresiasi sikap terbuka Presiden RI, Joko Widodo, untuk mempersilahkan PBB mengunjungi Papua dan juga keterbukaan berbagai pihak di Indonesia yang mengoptimalkan kunjungan KT-HAM.

"Penguatan dan dukungan kepada Komnas Perempuan sebagai lembaga HAM Nasional yang independen, termasuk menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkannya," kata dia.

Komisioner Komnas Perempuan yang lain Riri Khariroh menyebut kekerasan terhadap perempuan yang semakin komplek seperti kekerasan seksual perempuan disabilitas, praktik poligami, kawin siri dan kawin usia anak yang semakin gencar dan terbuka juga jadi sorotan pihaknya.

"Termasuk kekerasan berbasis cyber, praktik-praktik yang menyakitkan (sirkumsisi, test keperawanan), hak pendidikan siswi hamil, migrasi, drug trafficking dan kerentanan hukuman mati, kerentanan dan daya juang perempuan pembela HAM, dan penguatan kelembagaan HAM Perempuan (Komnas Perempuan) dengan dukungan strategis di nasional maupun internasional," kata Riri.

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018