Jakarta (ANTARA News) - Pakar pertambangan ITB Ridho K Wattimena mengatakan kegiatan tambang bawah tanah PT Freeport Indonesia dengan metode block caving memiliki risiko tinggi, berjangka waktu panjang, dan membutuhkan investasi besar.

"Metode block caving seperti yang digunakan Freeport memang membutuhkan biaya besar rata-rata 10-20 miliar dolar AS dan penambangannya juga tidak boleh terhenti, karena akan meningkatkan tegangan dan bisa mengakibatkan runtuhnya terowongan," kata ahli tambang bawah tanah tersebut di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, biaya tambang bawah tanah (underground mining) dengan metoda block caving cukup besar khususnya pada tahap pengembangan karena harus membuat terowongan-terowongan, yang panjang totalnya bisa mencapai ratusan kilometer dengan waktu bertahun-tahun.

Pada tahap pengembangannya saja, membutuhkan waktu 15-20 tahun dengan belanja modal hingga 70 persen sebelum memasuki tahapan produksi.

Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB itu juga mengatakan bila kegiatan tambang bawah tanah terhenti, maka cadangan bisa hilang, sehingga perusahaan akan mengalami kerugian triliunan rupiah.


Baca juga: (Adkerson: Freeport tidak menginginkan arbitrase)

Baca juga: (Luhut tegaskan Freeport harus ikuti aturan Indonesia)


Selain itu, lanjutnya, terhentinya kegiatan tambang bawah tanah, dapat menyebabkan kerusakan terowongan akibat konsentrasi tegangan dalam waktu yang lama.

Pada 2011, risiko itu pernah terjadi saat Freeport harus kehilangan 20 persen cadangan "deep ore zone"-nya akibat pekerja tambang bawah tanah mogok kerja selama berbulan-bulan.

"Saya berharap bila ada kebijakan dari pemerintah yang dianggap tidak sesuai oleh perusahaan tambang, maka sebaiknya dicarikan solusi terbaik, karena ini akan merugikan pemerintah sendiri dalam hal penerimaan pendapatan dan juga merugikan perusahaan dalam berinvestasi. Saya juga berharap renegosiasi antara pemerintah dan Freeport, yang kini berjalan, dapat memberikan keuntungan kedua belah pihak. Dan, paling penting, jangan sampai potensi deposit di Freeport tidak dimanfaatkan sepenuhnya," ujarnya.

Ridho menambahkan metode block caving di tambang Freeport menjadi satu-satunya di Indonesia.

Menurut dia, metoda itu pada dasarnya memanfaatkan sifat batuan yang dapat ambruk (cave) jika batuan di bawahnya diambil.

Metoda block caving dilakukan dengan menggali terowongan menuju tempat cadangan bijih mineral, lalu meledakkan bagian bawah badan bijih sehingga blok bijih mengalami keruntuhan, kemudian batuan disalurkan secara bertahap lewat jalur terowongan yang sudah dibuat.

Ruang kosong dalam proses "removed" memungkinkan gravitasi untuk memaksa badan bijih turun ke bawah.

Tantangan yang harus diatasi adalah kestabilan batuan yakni ketika meledakkan badan bijih, maka batuan harus tetap dijaga keseimbangannya supaya terowongan tak runtuh.

"Satu blok besar batuan berukuran puluhan meter kali puluhan meter bisa jatuh sekaligus yang bisa menimbulkan aliran udara sangat kencang di dalam terowongan-terowongan dan menimbulkan kejadian fatal," kata Ridho.

Ia mencontohkan kecelakaan tambang di Northparkes, Australia yang menyebabkan empat pekerja meninggal dunia.

Risiko lain adalah runtuhnya terowongan akibat aktivitas seismik.

Para pekerja tambang underground pun, lanjutnya, harus terhindar dari bahaya luncuran lumpur yang dapat menimbunnya di bawah tanah.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Indonesian Mining Institute (IMI) Hendra Sinadia mengatakan dengan besarnya kebutuhan investasi tambang bawah tanah, maka wajar jika perusahaan menuntut kepastian hukum dari operasionalnya.

"Ini bukan hanya Freeport saja, tapi juga perusahaan lainnya. Mereka butuh kepastian operasional, karena investasinya besar dan berjangka waktu panjang. Apalagi risikonya juga tinggi," katanya.

Ia mengapresiasi langkah renegoisasi antara pemerintah dan Freeport untuk menyelesaikan perbedaan pendapat keduanya.

"Solusinya memang negoisasi. Tapi, keduanya harus saling take and give dan tidak boleh menang-menangan," katanya. 

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017