Jakarta (ANTARA News) - Pegiat Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Eko Arifianto, berharap meninggalnya Patmi (48) di tengah perjuangan menolak pendirian dan pengoperasian pabrik semen PT Semen Indonesia di kawasan Pegunungan Kendeng dapat menjadi momentum merekahnya bunga-bunga perlawanan dan perjuangan masyarakat membela alamnya.

"Kita semua pasti akan mati, cuma kita yang memilih jalan kematian mana yang kita mau. Mati dalam perjuangan mencintai ibu pertiwi atau melukai ibu pertiwi," kata Eko dalam konferensj pers terkait kelanjutan aksi Kendeng menyusul meninggalnya mendiang Patmi di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Selasa.

Eko mengenang Patmi sebagai perempuan yang penuh daya juang yang bukan kali ini saja ambil bagian dalam gerakan masyarakat menolak pengrusakan alam oleh kehadiran pabrik semen.

Sebelumnya, Patmi juga turun tangan dalam aksi-aksi penolakan lain seperti beberapa kali long march Pati-Semarang, Rembang-Semarang di tahun-tahun lalu.

"Patmi seorang perempuan yang penuh daya juang, Patmi berasal dari Padma, nama sebuah bunga," kata Eko merujuk pada bunga seroja yang memiliki nama lain padma.

"Semoga ini awal dari momentum muncul dan tumbuhnya bunga-bunga perlawanan yang bermekaran," ujar Eko menambahkan.

(Baca: Patmi, Kartini Kendeng yang meninggal di tengah perjuangan)

Patmi bergabung dalam aksi #DipasungSemen2 sejak 16 Maret 2017.

Pada Senin (20/3) malam sekitar pukul 23.00 WIB, cor semen yang membelenggu kaki Patmi akhirnya dilepas setelah kesepakatan untuk mengubah cara aksi seusai sejumlah perwakilan peserta aksi diterima Kepala Kantor Staf Presiden, Teten Masduki, pada Senin (20/3) sore.

Mendiang Patmi mengeluh kesakitan setelah mandi sekira pukul 2.30 WIB Selasa dan segera dilarikan ke RS St. Carolus Salemba, namun meninggal dalam perjalanan dan oleh pihak rumah sakit dinyatakan meninggal mendadak sekira pukul 2.55 WIB.

Jenazah Patmi sudah dibawa pulang ke Desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Pati, unuk dikebumikan di kampung halamannya yang ia perjuangkan tersebut.

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017