Jika dia merealisasikan apa yang dia katakan, maka kami akan melihatnya sebagai Ronald Reagan baru, orang yang akan diperhitungkan oleh siapa pun di kawasan ini
Dubai, Uni Emirat Arab (ANTARA News) - Negara-negara Arab Teluk diam-diam menyambut datangnya pemimpin agresif di Gedung Putih yang memusuhi musuh abadi mereka, Iran. Sekalipun negara-negara Arab Teluk itu tahu perangai sumbu pendek alias temperamen tinggi Donald Trump bakal memperpanas suhu ketegangan di Timur Tengah.

Ketika banyak negara di seluruh dunia mengikuti dengan penuh kekhawatiran pidato proteksionis Trump saat dilantik, para pejabat Arab Teluk malah optimistis. Mereka melihat pada diri Trump ada sosok presiden yang kuat yang akan menaikkan kembali peran Washington sebagai mitra strategis utama mereka di kawasan yang vital bagi keamanan dan kepentingan energi AS itu.

Di mata Arab Teluk, Trump bisa menjadi pengimbang untuk apa yang mereka lihat sebagai meningkat pesatnya dukungan Iran kepada kelompok-kelompok paramiliter Syiah di Suriah, Irak, Yaman dan Lebanon serta warga Syiah di Bahrain dan Provinsi Timur Arab Saudi yang kaya minyak.

Pandangan mereka itu berarti mengabaikan retorika Trump yang ingin menyatukan "dunia beradab melawan terorisme Islam radikal" dalam pidato yang oleh sementara kalangan sejalan dengan istilah "perang salib" yang pernah dilontarkan George W. Bush ketika melancarkan perang melawan terorisme. Istilah itu mengingatkan kaum muslim pada perang barbar yang dilancarkan kaum Kristen terhadap umat Islam pada abad pertengahan.

Saudi adalah yang terlihat paling senang dengan berakhirnya era pemerintahan Barack Obama. Saudi berpandangan bahwa AS di bawah Obama telah menganggap persekutuan Saudi-AS kurang penting dibandingkan dengan merundingkan kesepakatan netralisasi program nuklir Iran pada 2015.

Hubungan Saudi-AS adalah pilar bagi keseimbangan keamanan di Timur Tengah. Namun hubungan itu rusak sejak Riyadh menganggap pemerintahan Obama telah menarik diri dari Timur Tengah, dan dianggap lebih condong mendekati Iran sejak Revolusi Arab 2011.

Ronald Reagan baru

Hubungan AS dengan Arab Teluk pernah tegang menyangkut Suriah. Ketika itu Obama menampik desakan Arab Teluk untuk menyalurkan bantuan yang lebih banyak kepada pihak pemberontah Suriah yang sedang memerangi Presiden Bashar al-Assad yang akhirnya selamat berkat bantuan Iran dan Rusia.

"Persepsi itu penting: Trump tidak kelihatan seperti orang yang akan membungkuk kepada Iran atau pihak lain," kata Abdulrahman al-Rashed, pengamat Saudi, seperti dikutip Reuters.

"Jika dia merealisasikan apa yang dia katakan, maka kami akan melihatnya sebagai Ronald Reagan baru, orang yang akan diperhitungkan oleh siapa pun di kawasan ini. Itulah yang kami rasakan hilang dalam delapan tahun terakhir."

Namun beberapa kalangan mengkhawatirkan kebiasaan ber-Twitter Trump yang kerap cepat mengeluarkan pujian dan cacian, karena kebiasaan ini tidak tepat dalam mengatasi gejolak di Timur Tengah.

Faisal al-Yafai, kolomnis koran The National di Abu Dhabi, mengatakan kebiasaan bermedia-sosial Trump bisa menimbulkan masalah, tetapi Trump sendiri mungkin tak akan mau mengubah kebiasaannya itu.

"Dalam beberapa hal sesuatu yang akan terjadi di dunia membutuhkan respons yang hati-hati, kebijakan yang hati-hati, tetapi Trump pasti bereaksi emosional. Itulah yang selalu menjadi kekhawatiran. Tetapi itulah prilaku dia. Itulah dia. Mereka yang menyukai Trump pasti menyukai aspek kepribadiannya," kata dia.

Beberapa pengamat di Arab melihat ada kemiripan politik antara Trump dan Reagan yang juga mempunyai slogan membuat Amerika jaya kembali. Reagan juga penyokong utama militer, kendati di Timur Tengah, selama masa kepresidenannya pada 1981-1989 ditandai oleh membesarnya krisis yang melibatkan Iran, Lebanon dan Libya.

Kendati hanya sedikit kalangan di Arab Teluk yang memperkirakan Trump bakal mencampakkan kesepakatan nuklir dengan Iran meskipun dia telah mengumbar kata-kata untuk melakukannya, kebanyakan kalangan Arab Teluk menginginkan Iran ditekan untuk tidak mencampuri masalah yang dianggap Arab Teluk sebagai subversi di dalam negeri negara-negara Arab, dengan memanfaatkan teokrasi revolusionernya.

"Saya kira dia akan amat sangat keras terhadap Iran. Dia pasti penuntut," kata seorang pengusaha Arab Teluk yang menyebut Trump yang berlatar belakang perunding bisnis pasti tipikal yang akan menuntut imbal balik.

Kebijakan Luar Negeri

Setelah Trump menyampaikan pidato pelantikan, laman Gedung Putih kemudian mengumumkan bahwa pemerintahan Trump akan menempatkan "upaya mengalahkan kelompok teror Islam radikal" pada tujuan puncak kebijakan luar negerinya. Pemerintahan Trump juga akan mengembangkan sistem pertahanan peluru kendali yang canggih untuk melindungi dari serangan Iran dan Korea Utara.

Dan itu semua menjadi tugas utama Menteri Pertahanan James Mattis, (calon) Menteri Luar Negeri Rex Tillerson, dan Direktur CIA Mike Pompeo, yang semuanya dikenal baik oleh para pejabat Saudi. Khususnya Mattis, jenderal purnawirawan marinir yang dikenal tidak mempercayai Iran, yang dikenal sangat baik oleh para penguasa Arab Teluk.

Pernah menjadi panglima Komando Sentral yang membawahi operasi-operasi militer AS di Timur Tengah dan Asia Selatan, Mattis berkata kepada Senat saat dikukuhkan menjadi menteri pertahanan bulan ini bahwa Iran adalah "kekuataan perusak kestabilan terbesar di Timur Tengah dan kebijakannya bertolak belakang dengan kepentingan kita."

Pandangan semacam itu sangat diterima dan dirasakan oleh Arab Teluk.

"Kami berharap Trump bisa mengoreksi kebijakan (Obama) dan meskipun kami belum begitu yakin, pilihan-pilihan dia untuk menjalankan pemerintahan (anggota-anggota kabinet) semuanya sangat berpengalaman," kata al-Rashed.

Perlombaan senjata

Di Suriah, Yaman, Irak dan Bahrain yang semuanya menjadi arena pertarungan pengaruh antara Saudi dan Iran, pilihan mengutamakan dialog yang diadopsi Obama dianggap lemah oleh sejumlah negara Arab Teluk.

Visi Trump sendiri untuk menciptakan perdamaian melalui kekuatan mungkin mengubah persepsi Washington yang pasif, dan mendorong negara-negara Arab Teluk meningkatkan kekuatan militernya yang selama ini sangat menggantungkan diri kepada perusahaan-perusahaan produk pertahanan AS dan Eropa.

Namun ada beberapa masalah yang bisa merusak hubungan Arab-AS, yakni soal Yerusalem, kebijakan soal minyak, anggapan Trump punya prasangka anti-muslim, dan pengadilan AS yang mengeluarkan putusan bahwa warga AS bisa mengajukan tuntutan hukum kepada Saudi menyangkut Serangan 11 September 2001.

Salah satu isu yang paling eksplosif adalah tekad Trump untuk memindahkan kantor kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem yang pastinya akan membalikkan 180 derajat kebijakan AS selama ini di Timur Tengah. Kedua, dia telah menunjuk duta besar untuk Israel, yang terkenal sebagai pelaku penggalangan dana besar-besaran untuk kawasan permukiman Yahudi di atas tanah Palestina yang diduduki Israel.

Israel dan Palestina sama-sama mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota mereka.

Bahasa yang memecah belah

"Hal itu (memindahkan kedubes ke Yerusalem) akan menciptakan banyak kekacauan, mungkin pula intifada baru," kata seorang sumber di Arab Teluk yang mengetahui jalan pikiran para penguasa Arab Teluk, seraya mengatakan Trump akan lama dan keras berpikir untuk pemindahan kedubes itu. Dan akibatnya itu akan menjadi penghalang besar bagi proses perdamaian di Timur Tengah.

Masalah lainnya yang menjadi prioritas kebijakan Trump adalah menghancurkan ISIS. Negara-negara Arab Teluk sepakat dengan Trump mengenai hal itu, namun mengingatkan penggunaan bahasa yang tidak tepat seperti menyamaratakan muslim dan semata menggantungkan diri kepada kekuatan militer, akan memicu penolakan dunia Arab.

Bahasa semacam itu juga akan memicu militansi, karena bahasa semacam itu bisa mengabaikan upaya lembut dari hati ke hati yang diperlukan untuk menangkal ideologi di balik teror.

"Bagian terburuk dari pidatonya adalah bahwa dia akan menyasar Islam sebagai agama atas nama perang yang dia sebut terorisme Islam radikal yang adalah label kosong yang tak berarti apa-apa," cuit Daham al-Qahtani, seorang analis politik dari Kuwait.

"Jika dia kembali ke era Bush, bahwa 'kalian pilih bersama kami atau bersama teroris', pikiran yang memecah belah, dan kemudian juga pandangan bahwa kekuatan militer bisa mengatasi hal ini, maka saya kira kita berada pada situasi yang sangat sulit, berada pada perang yang tidak akan bisa dimenangkan," kata al Yafai.

sumber: Reuters

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017