Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Perhubungan memiliki pekerjaan rumah yang besar dalam pembangunan infrastruktur transportasi di seluruh daerah Indonesia.

Tak terkecuali di wilayah Timur yang saat ini tengah digenjot pembangunannya sesuai dengan fokus pemerintah yaitu tidak lagi terpusat di wilayah Barat, tetapi lebih merata atau "Indonesia Sentris" yang juga tercantum dalam program pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, yakni Nawacita.

Namun, pemerintah harus memutar otak untuk membiayai seluruh pembangunan infrastruktur yang mencapai Rp1.283 triliun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menangah (RPJMN) 2015-2019.

Sementara, pemerintah hanya mampu menyediakan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp491 triliun.

Pada masa mendatang, ketika pembangunan dan pengembangan infrastruktur transportasi harus dipercepat, ketergantungan kepada APBN tidak dapat dipertahankan.

Tahun ini saja, dari Pagu Anggaran 2016 yang diperoleh Kemenhub, yaitu Rp48,52 triliun harus mengalami pemotongan dalam rangka penghematan anggaran sebesar Rp4,7 triliun.

Karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membuka peluang seluas-luasnya bagi swasta yang berminat untuk mengerjakan proyek pembangunan infrastruktur transportasi.

Tujuannya adalah agar alokasi dana yang awalnya untuk pembangunan di wilayah Jawa, bisa dialihkan ke proyek-proyek yang lebih diprioritaskan di wilayah Indonesia Timur.

Bukan hanya swasta melalui kerja sama pemerintah swasta (KSP) tapi Kemenhub juga mengajak sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan kerja sama operasi (KSO) bandara atau pelabuhan milik pemerintah.



Bentuk Tim Pendanaan

Keseriusan Kemenhub untuk menggandeng pihak BUMN atau swasta baik nasional maupun asing terlihat dengan dibentuknya tim khusus, yaitu Tim Pendanaan Investasi Infrastruktur Perhubungan melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 590 Tahun 2016.

Tim tersebut bertugas merencanakan dan mempersiapkan proyek infrastruktur yang akan dibiayai oleh skema pendanaan alternatif selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tim Pendanaan Investasi Infrastruktur Perhubungan tersebut untuk memperluas ruang gerak fiskal melalui peningkatan penerimaan pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk kegiatan pembangunan infrastruktur serta peningkatan peran APBD, BUMN dan Swasta.

Pembentukan tim tersebut dilatarbelakangi kendala yang dihadapi pemerintah dalam mempromosikan kerja sama pemerintah dengan swasta (KPS), seperti proses pembebasan lahan, ketidakmampuan sektor swasta untuk masuk ke dalam risiko investask pada proyek-proyek yang ditawarkan.

Juga kurangnya kredibilitas proyek-proyek infrastruktur yang ditawarkan, dan belum optimalnya dukungan yang memadai untuk memungkinkan peran serta yang lebih besar dalam proyek KPS oleh para pemangku kepentingan.

Untuk itu dibentuk Tim Pendanaan Infrastruktur ini karena sebenarnya swasta dan BUMN ini punya potensi dan sekarang sudah berkiprah dan ingin berkiprah lebih dalam.

Saat ini, telah dibentuk tim tersebut dengan melibatkan pihak kompeten agar perencanaan dan perkembangan bisa dilakukan secara profesional dan bisa menberikan manfaat bagi transportasi.

Pemerintah hanya bisa membiayai sepertiga dari kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur transportasi, karena itu keterlibatan BUMN dan swasta sangat diperlukan.

Beberapa proyek perhubungan yang diusulkan untuk dapat dibiayai oleh skema pendanaan alternatif selain APBN, untuk Sektor Perhubungan Darat, di antaranya Pengembangan Terminal Mengwi di Badung-Bali, Terminal Tirtonadi Solo dan pembangunan angkutan massal perkotaan.

Sementara itu, untuk Sektor Perkeretaapian, antara lain KA Ekspress Line Bandara Internasional Soekarno-Hatta (SHIA), program pembangunan Ka Akses Bandara Adi Sumarmo-Solo, KA Kertapati-Simpang-Tanjung Api-api dan Kereta Cepat (High Speed Train) Jakarta-Surabaya.

Untuk Perhubungan Udara, yaitu Bandara Fatmawati Soekarno-Bengkulu, Sentani-Jayapura, Sis Al Jufri-Pali, Radin Inten II-Lampung, Juwata-Tarakan dan Jalaludin-Gorontalo.

Adapun, untuk sektor perhubungan laut, terdapat 10 lokasi pelabuhan yang siap untuk dilakukan kerja sama pemanfaatan dengan PT Pelindo I,II,III dan IV (Persero), yaitu Pelabuhan Gunung Sitoli, Sintete, Badas, Lembar, Bima, Kendari, Arar, Bitung, Manokwari dan Merauke.

Selain itu juga membuka peluang bagi swasta asing maupun nasional dalam pengoperasian Bandara Kualanamu-Medan dan Bandara Sepinggan-Balikpapan.

Kerja sama pemanfaatan barang milik negara itu dilakukan pola kerja sama pengelolaan pelabuhan antara pemerintah dengan Badan Usaha Pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.

Selain mendapatkan alternatif pendanaan, Menhub Budi menilai dengan adanya kerja sama tersebut, pelayanan baik itu di bandara maupun pelabuhan diharapkan akan meningkat.

Kolaborasi kerja sama ini tidak gampang karena kita memang bukan cari popularitas, tapi kami punya visi agar bisa melayani yang lebih baik, tidak akan tercapai kalau tidak dikerjasamakan.

Ia mencontohkan pelayanan bongkar muat di pelabuhan yang saat ini prosesnya sehari, apabila setelah dikerjasamakan bisa dalam waktu hanya dua hingga tiga jam.

Direktur Utama PT Pelindo III Orias P Moedak mengaku siap dalam mengelola pelabuhan akan dikerjasamakan tersebut.

Dia memastikan kerja sama tersebut tidak akan merugikan negara karena pihaknya akan konsisten untuk membayarkan kewajiban yang tertera dalam perjanjian.

Orias mengatakan pihaknya juga akan menanamkam modal untuk alat-alat di pelabuhan apabila diperlukan.

Di sisi lain, Direktur Teknik Pelindo IV Susantono mengatakan rencana tersebut sudah dikaji bersama Kemenhub serta KSOP di daerah masing-masing dan pengelolaannya akan dilakukan secara bertahap.

Upaya swastanisasi tersebut juga bertujuan agar Kemenhub kembali ke peran utamanya sebagai regulator dan sedianya kebijakan tersebut harus tetap diawasi dan dikawal sesuai dengan perannya itu.

Oleh Juwita Trisna Rahayu
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016