Itulah yang menjadi acuan kita bersama sampai saat ini dalam kita mendirikan rumah ibadah, apa pun agamanya
Aceh Singkil (ANTARA News) - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat merupakan dasar dan acuan pengurusan izin pendirian rumah ibadah.

Penegasan ini disampaikan Menag dalam kesempatan bersilaturahim dengan para tokoh dari majelis-majelis agama di Kantor Bupati Aceh Singkil, Senin (26/10) sehubungan dengan adanya tuntutan dari sejumlah pihak agar PBM tersebut dicabut.

Menurut Menag, sepanjang tahun 2005  hingga 2006, para tokoh agama telah melakukan belasan kali diskusi untuk mencari titik temu bagi penyelesaian masalah dan sengketa rumah ibadah. Saat itu, masing-masing agama diwakili oleh dua tokohnya. Mewakili Islam:  KH Makruf Amin dan KH Zaidan Jauhari (MUI),  Protestan:  Dr Lodewijk Gultom dan Martin Hutabarat (PGI),  Katolik: Dr Maria Farida dan Vera Wenny, SH (KWI),   Buddha:  Suhadi Sendjaja dan Sudjito (Walubi), serta dari Hindu: I Nengah  Dana dan Agusmantik (PHDI).
Proses diskusi tersebut difasilitasi oleh Pemerintah melalui  Balitbang Diklat Kemenag yang saat itu dipimpin  Prof. Atho Mudhar dan Dirjen Kesbangpol Mendagri yang dipimpin Dr. Sudarsono.

Hasilnya, mereka menyepakati sebuah rumusan yang lantas dijadikan Pemerintah sebagai  PBM Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006. Jadi, kata Menag, PBM tahun 2006 itu bukanlah rumusan dari Pemerintah, melainkan rumusan yang datang sebagai hasil dari serial diskusi tokoh agama yang masing-masing diwakili dua orang.

"Itulah yang menjadi acuan kita bersama sampai saat ini dalam kita mendirikan rumah ibadah, apa pun agamanya,” tandas Menag yang pada kesempatan itu didampingi para pimpinan daerah Propinsi Aceh dan Kabupaten Aceh Singkil dalam siaran pers yang diterima Selasa.

Menag memandang bahwa selama belum ada pengganti yang lebih baik, PBM tersebut tidak bisa dicabut. Sebab, kalau  dicabut, maka tidak ada acuan yang bisa dijadikan sebagai dasar.

“Kementerian Agama saat ini sedang menyiapkan RUU tentang Perlindungan Umat Beragama, salah satunya mengatur terkait rumah ibadah ini. Tapi ini  masih  rancangan  dan belum selesai. Selama belum ada penggantinya yang baru yang lebih baik, maka yang ada jangan dihilangkan dulu,” ujar Menag.


Keragaman Masyarakat Indonesia

Menag mengajak semua pihak untuk meningkatkan kesadaran bahwa masyarakat Indonesia hakikatnya beragam dan hidup di tengah keragaman. Karena itu, sudah semestinya masyarakat Indonesia saling menghargai dan menghormati perbedaan.
Keragaman  adalah sesuatu yang given, sunnatullah, yang memang begitulah Tuhan menghendakinya.

"Kalau  Tuhan mau, maka mudah saja bagi-Nya untuk menyeragamkan manusia menjadi umat yang satu. Tapi Dia  tidak melakukan itu karena dalam keragaman ada hikmah, berkah, dan anugerah sehubungan dengan  keterbatasan setiap manusia. Anugerah Tuhan menciptakan keragaman agar yang berbeda-beda ini bisa saling melengkapi dan mengisi,” pesannya.

“Karenanya, jangan pernah berobsesi untuk menyeragamkan semua kita. Itu bisa dimaknai mengingkari sunnatullah,” tambahnya.

Bagi Menag, yang dituntut dari manusia adalah menebar kebajikan karena agama bertujuan menebarkan kebajikan dan memanusiakan manusia. Dalam menyikapi keragaman, yang dituntut bukanlah menyeragamkan tapi bagaimana menghargai dan menghormati perbedaan yang ada.

"Bukan menuntut pihak lain yang berbeda untuk menghormati dan menghargai saya, tapi saya yang proaktif untuk menghargai dan menghormati pihak-pihak di luar sana yang berbeda,” tandasnya.

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015