Allah selalu harus berada di atas segalanya, Inilah bukti iman sejati
Jakarta (ANTARA News) - Kurban yang disyariatkan oleh agama Islam dimaksudkan guna mengingatkan manusia bahwa jalan menuju kebahagian membutuhkan pengorbanan, tetapi yang dikurbankan bukan manusia, bukan nilai-nilai kemanusian, melainkan hewan sebagai pertanda bahwa pengurbanan harus ditunaikan.

Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail, kemudian dibatalkan dan kemudian Allah menebusnya dengan domba dapat dimaknai bahwa tiada sesuatu yang mahal untuk dikurbankan kalau panggilan Ilahi telah datang, kata khotib Dr.H.Muh. Guntur Alting, M.Pd, M.Si pada shalat Idul Adha di Masjid Agung At-Tin Jakarta, Minggu.

Cara berkurban seperti itu bukan hanya ujian untuk keduanya, Nabi Ibrahim dan Ismail, tetapi juga untuk menjelaskan kepada siapa saja.

Karena itu Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih anak kandung satu-satunya, anak yang telah lama didambakannya, sebagai bukti bahwa manusia pun dapat dikurbankan bila panggilan Ilahi telah tiba.

"Allah selalu harus berada di atas segalanya, Inilah bukti iman sejati," kata dosen tetap Mata kuliah Metodologi Studi Islam pada Fakultas Tarbiah dan Ilmu Pendidikan IAIN Sultan Zainal Abidin Syah, Maluku Utara.

Hadir pada shalat Idul Adha itu keluarga besar almarhum Soeharto dan Ketua Dewan Pengurus Masjid Agung At-Tin,Muhammad Maftuh Basyuni.

Guntur kembali menegaskan, kurban yang disyariatkan oleh agama, guna mengingatkan manusia bahwa jalan menuju kebahagian membutuhkan pengorbanan.

Tetapi yang dikurbankan bukan manusia, bukan pula nilai-nilai kemanusian, melainkan binatang sebagai pertanda bahwa pengurbanan harus ditunaikan. Dan yang dikurbankan adalah sifat-sifat kebinatangan dalam diri manusia itu sendiri, yakni rakus, ingin menang sendiri, mengabaikan norma dan nilai.

Terkait dengan Idul Adha, ia mengatakan, Idul Adha didahului oleh ibadah haji dimana kabah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dengan anaknya adalah simbol dari sebuah karya dan reputasi. Yang menjadi cermin bagi umat dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Betapa tidak, umat Islam bisa merasakan dari dahulu, sekarang, bahkan pada masa mendatang Nabi Ibrahim dengan keluarganya selalu dikenang dan diagungkan oleh jutaan umat Islam di seluruh dunia pada saat berada di tanah suci.

Oleh karena mereka telah meletakan fondasi karya berupa kabah yang menjadi tambatan spiritual dari seluruh umat Islam sebagai wujud dari amal shaleh mereka.

Kalau kesadaran ini yang ditumbuhkan maka, apapun yang dilakukan akan berbuah amal shaleh. Dan bukankah Al-quran menyebutkan dalam Surat Yasin, yang sering kita baca bahwa manusia itu yang penting adalah amalnya. Dan amal itu akan dicatat oleh Tuhan beserta efeknya atau dampaknya, katanya.

"Kami catat apapun yang pernah dilakukan oleh manusia itu beserta dampaknya, dan segala sesuatu akan kami perhitungkan dalam buku besar yang sangat jelas" (Q 36:12), katanya.

Maka itu, lanjut dia, kelak nanti yang dibawa menghadap Allah adalah amal. Dan kalau sudah meninggalkan dunia ini menghadap Allah, maka amal itu terwujud di dunia ini dalam bentuk reputasi atau nama baik.

Seperti dikatakan dalam pepatah Melayu-Indonesia, "harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, maka manusia mati Ia akan meninggalkan amal".

Amal yang menjadi reputasi. Yaitu ketika orang mengenang seseorang yang sudah meninggal itu, apakah dia orang baik atau buruk. Dan umur reputasi itu jauh lebih panjang daripada umur pribadi manusia tersebut.

"Sampai sekarang kita masih bisa menyebut dengan penuh penghargaan orang seperti, Ibnu taimiyah, Imam Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rush, tokoh-tokoh kemanusian seperti Bunda Teresa, para ilmuan seperti Isaac Newton, Thomas Alva Edison, dan sederatan manusia agung lainnya," katanya.

Pewarta: Edy Supriatna Sjafei
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2014