Saya (menjadi) muslim sejak tahun 1982 di usia 22 tahun. Alasannya saya penasaran.
Jakarta (ANTARA News) - 

Jakarta (ANTARA News) - Jika Hari Lebaran umumnya dirayakan bersama keluarga, tak demikian halnya muslim keturunan etnis China, Eko Tan (54). Baginya, sendirian bukan berarti penghalang merayakan hari kemenangan.

Eko Tan bukannya tak memiliki keluarga. Masalah dalam keluarga batinnyalah yang membuatnya harus hidup seorang diri sejak enam tahun lalu. 

"Saya menjalani hidup sebagai muslim seorang diri. Saya menikah usia 29 tahun, dikaruniai satu orang anak laki-laki tetapi menganut agama Budha," ujarnya di Kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat, Senin. 

Ditanya soal tradisi dalam Lebaran, Eko mengungkapkan, tak ada perbedaan antara dirinya dan mayoritas masyarakat muslim di Indonesia. Dia yang merupakan keturunan ke-14 terhitung dari moyangnya tidak pernah mengunjungi negeri asal moyangnya, China. Sejak lahir ia telah tinggal di Jakarta, sehingga tak mengenal tradisi mudik. 

"Nama China pun saya tidak ada," ungkapnya. 

 Kemudian, saat Lebaran tiba, sama seperti muslim lainnya, dia melaksanakan sholat Idul Fitri, lalu bersalam-salaman dengan para tetangga dilanjutkan menyantap berbagai penganan khas Lebaran. Soal hidangan saat Lebaran, ia mengaku tak memiliki hidangan spesial apapun selain makanan yang umumnya tersaji saat Lebaran. Itupun, ia dapatkan dari adiknya. 

"Kalau Lebaran, setelah solat Idul Fitri di masjid saya pulang, lalu salam-salaman dengan tetangga," kata pria yang mengaku tinggal di kawasan Jatinegara itu.

"Biasanya untuk hidangan Lebaran, adik saya yang membuatkan," tambahnya. 

Terlahir dari ayah bersukubangsa Sunda-India dan ibu keturunan Tiongkok-Jawa, Eko mengaku baru memeluk agama Islam (menjadi mualaf) saat usianya menginjak 22 tahun. 

"Saya (menjadi) muslim sejak tahun 1982 di usia 22 tahun. Alasannya saya penasaran. Karena bapak saya dulu berkali-kali bilang Islam itu brengsek," ujar pria yang berprofesi sebagai pengobat alternatif itu. 

Eko mengungkapkan saat itu ia duduk di bangku kuliah. Seusai jam kuliah dia mengatakan selalu menyempatkan diri hadir di pengajian yang diadakan setiap pukul dua siang. 

"Setiap ada ceramah saya tongkrongin. Kalau pas sholat Ashar, kumpulnya kan jam 2 siang, saya keluar. Saya liatin bagaimana caranya sholat," ungkap Eko. 

"Enam bulan setelah itu saya baru sholat. Pas bulan puasa. Setelah itu perasaan saya lega," katanya. Menurut Eko, sejak kecil hidupnya telah terbiasa hidup bersama hal bernama perbedaan, baik itu agama, suku bangsa, bahasa ataupun yang lainnya.

"Di keluarga saya, yang Katolik juga ada, aliran kepercayaan ada, tapi kalau Kong Hu Chu enggak ada," katanya. 

Sekalipun demikian, dia mengaku sesekali merasakan juga yang namanya sendiri karena berbeda dari yang lain. 

"Terkadang saya merasa sendirian. Berbeda sendiri. Namun masyarakat sekitar menerima saya. Mereka menerima perbedaan. Apalagi dalam Islam itu kan tidak ada diskriminasi. Kita diciptakan untuk mengenal berbagai suku bangsa, berbagai adat, bahasa, berbagai agama," kata mengakhiri.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014