... berdasarkan purnama, berapa kali bulan terang dan bulan gelap... "
Ambon (ANTARA News) - Masyarakat di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, masih menggunakan perhitungan astronomi kuno alias tanoar (perhitungan waktu atau hari baik) dalam pembuatan perahu tradisional, kata ahli arkeologi dari Balai Arkeologi Ambon, di Ambon, Lucas Wattimena, di Ambon, Selasa.

"Tanoar merupakan bagian dari etnoastronomi, walau era sudah berubah tapi sistem itu masih dipertahankan oleh masyarakat di Saparua sejak zaman holosen hingga kini," katanya.

Dikatakan dia, berdasarkan penelitiannya pada 5 Juni-18 Juni 2014 di Jazirah Hatawano dan Jazirah Tenggara, Pulau Saparua, masyarakat di sana memiliki perhitungan perbintangan tertentu ketika membuat perahu tradisional, yakni tanoar dengan cara menghitung jumlah purnama.

Tanoar dilakukan saat akan memilih kayu untuk perahu, sebelum memulai proses pengerjaan perahu dan ketika perahu akan diturunkan ke laut.

"Perhitungan astronomi mereka berdasarkan purnama, berapa kali bulan terang dan bulan gelap, dari perhitungan tersebut dapat diketahui kuatnya kayu yang digunakan untuk membuat perahu, kalau kayu diambil saat bulan tidak tepat maka kayu akan dimakan oleh rayap," katanya.

Dikatakannya lagi, pengetahuan masyarakat Pulau Saparua tentang astronomi kuno tersebut ditulis dalam buku panduan mereka yang dikenal dengan nats, buku itu digunakan oleh semua pembuat perahu tradisional di daerah itu.

"Nats adalah semacam buku panduan yang ditulis dengan tangan, di dalam buku itu ada patokan waktu berdasarkan jenis hewan, bulan dan bintang, ini dimiliki oleh setiap pembuat perahu di sana," ucapnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, tak hanya menggunakan sistem perbintangan khusus, kayu yang digunakan untuk perahu pun adalah kayu yang berasal dari pohon yang khusus ditanam oleh masyarakat setempat sebagai bahan untuk perahu tradisional, yakni pohon titi, salawaku, gopasa, dan kayu samar.

"Perahu-perahu mereka dibuat dari kayu yang khusus ditanam khusus di perkebunan rakyat sebagai bahan membuat perahu, kayu yang paling sering digunakan adalah kayu titi karena lebih ringan saat di atas air dan mampu menahan ombak. Harga kayu yang digunakan juga bervariasi, satu gelondongannya berkisar antara Rp300.000 hingga Rp850.000," ucapnya.

Ditambahkannya, ada dua jenis perahu tradisional di Pulau Saparua, yakni kole-kole (perahu yang menggunakan penyangga di kiri dan kanan perahu) yang digunakan untuk melaut, dan belang (sejenis sampan besar) yang hanya digunakan untuk perlombaan perahu manggurebe (perlombaan dayung sampan tradisional).

Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2014