Kalau pengusaha Hutan Tamanan Industri (HTI) tidak mampu mengelola kawasan hutan agar mengembalikan lahan konsesinya tersebut kepada negara,"
Banjarmasin (ANTARA News) - Anggota Komisi IV DPR-RI Habib Nabiel Almusawa meminta pemegang izin usaha Hutan Tanaman Industri agar mengembalikan lahan mereka yang terlantar.

"Kalau pengusaha Hutan Tamanan Industri (HTI) tidak mampu mengelola kawasan hutan agar mengembalikan lahan konsesinya tersebut kepada negara," ujar itu dalam keterangan pers kepada wartawan di Banjarmasin, Selasa malam.

Menurut legislator asal daerah pemilihan Kalimantan Selatan itu, menyerahkan kembali lahan yang terlantar kepada negara, lebih baik ketimbang izinnya dicabut paksa oleh pemerintah.

"Daripada izinnya dicabut paksa, akan lebih terhormat bila lahan itu dengan sukarela dikembalikan dan selanjutnya dikelola negara," saran politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.

Karena saat ini, lanjut alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat itu, negara sedang sangat membutuhkan lahan terutama untuk mencukupi kebutuhan pangan dan energi rakyat Indonesia.

"Negara membutuhkan tambahan lahan sekitar dua juta hektare (ha) untuk memenuhi kebutuhan tanaman jagung dan kedelai," ujar wakil rakyat yang menyandang gelar insinyur dan magister bidang pertanian tersebut.

Begitu pula untuk tanaman tebu guna memenuhi kebutuhan gula dari dalam negeri sendiri, yang dicari dua juta ha, namun yang didapat hanya sekitar 13 ribu ha," ungkapnya.

Menurut dia, lahan negara yang terlantar itu sebenarnya bisa mencukupi kebutuhan tersebut, tapi tidak bisa digunakan oleh negara karena dikuasai para pemegang izin usaha.

"Demikian pula dengan energi. Saat ini Indonesia mengalami defisit minyak bumi sebesar 608 ribu barrel per hari. Bila tidak teratasi, Indonesian Petroleum Association (IPA) memprediksi, pada tahun 2025 defisit migas akan mencapai dua juta barrel per hari," lanjutnya.

Ia berpendapat, salah satu langkah untuk mengantisipasi defisit energi adalah dengan mengembangkan bahan bakar nabati (BBN), antara lain yang berasal dari tanaman kemiri sunan.

Tanaman kemiri sunan memiliki keunggulan tidak busuk, tidak mengganggu pasokan pangan, kualitas rendemen menjadi biodiesel mencapai 50 persen, dan masa panen sekitar 4 - 8 tahun terhitung sejak mulai ditanam.

Begitu pula panennya menghasilkan 13 ton - 16 ton per hektare, yang bisa menghasilkan 6 ton - 8 ton minyak, dan jenis tanaman tersebut dapat tumbuh di mana saja.

"Mau ditanam dimana tanaman penghasil energi tersebut? Sampai saat ini belum diketahui pasti," keluhnya.

Karena itu, tambahnya, kalau pemegang izin HTI dengan sukarela mengembalikan lahan konsesinya yang terlantar, berarti telah membantu negara dalam solusi mengatasi permasalahan tersebut.

"Tapi bila mereka tetap menahan lahan terlantar tanpa pengelolaan, maka diusulkan agar mereka dianggap sebagai penghambat pembangunan yang karenanya harus diberi sanksi," tandasnya.

Ia mengungkapkan, sebagaimana catatan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) jumlah HTI saat ini di Indonesia mencapai 260 unit, 10 persen di antaranya terancam dicabut karena berbagai masalah.

Permasalahan tersebut antara lain tidak menyusun rencana kerja dan tidak ada hasil pengelolaan yang nyata. Mereka ini akan dievaluasi dan bila dalam tiga bulan tidak merespon maka akan dicabut izinnya

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) juga mengakui meski HTI telah diselenggarakan sejak tahun 1970-an, pelaksanaannya belum bisa maksimal karena masalah kelayakan ekonomi atau finansial. Dari data yang ada, yang aktif mengelola hanya sekitar 40 persen, demikian Nabiel.
(KR-SHN/A029)

Pewarta: Syamsuddin Hasan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014