Kami mau maju Pak Menteri."
Jakarta (ANTARA News) - Tiba-tiba saya bisa tahlilan di Grobokan. Di kuburan seorang tokoh: Ki Ageng Selo. Tidak saya sangka kalau makam tokoh itu di dekat kebun kedelai yang saya tinjau Rabu lalu.

Itulah tokoh yang namanya saya pakai untuk mobil listrik generasi kedua putra petir: Selo. Sebuah mobil sport warna kuning yang baru dipamerkan di Universitas Atmajaya Jakarta dan juga di Palembang, Sumatera Selatan.

Nama Selo kami ambil karena ada legenda yang sudah terkenal, bahwa Ki Ageng Selo mempunyai kemampuan menangkap petir.

"Benarkah makamnya di desa Selo ini," tanya saya pada Bupati Grobogan Bambang Pudjiono yang menyertai saya meninjau kebun kedelai unggul itu. "Saya pikir makamnya di Jogjakarta," tambah saya.

Kalau Pak Bupati tidak menginfokan keberadaan makam ini, tentulah saya tidak akan pernah bisa "permisi" menggunakan nama beliau untuk mobil listrik kita.

"Jangan-jangan karena belum pernah minta izin itulah sehingga nasib mobil listrik tidak segera jelas sampai sekarang," gurau teman saya yang ikut ke Grobogan.

Maka di makam Ki Ageng Selo itu, di samping tahlil, saya juga curhat (dalam hati) mengenai sulitnya prosedur mengurus mobil listrik itu di pemerintah. Padahal negara lain sudah kian kencang saja larinya.

Hari itu saya ke Grobogan, Jawa Tengah, untuk dua acara: gropyokan tikus dan meninjau tanaman kedelai binaan Bank Mandiri. Berita keberhasilan teknik baru gropyokan tikus di Godean Jogja dulu ternyata telah menginspirasi banyak daerah untuk melakukan hal yang sama.

Maka hari itu tim Brigade Hama PT Pupuk Indonesia mensosialisasikan cara-cara baru tersebut.

Dari gropyokan tikus inilah saya menuju desa Selo. Saya lihat tanaman kedelainya sudah mulai berbuah. Memang agak aneh di bulan Maret begini bisa tanam kedelai. Itulah tanaman kedelai di luar musim.

Ini memang hanya bisa dilakukan di daerah-daerah tertentu. Terutama yang kontur tanahnya agak tinggi. Sehingga di saat turun hujan tidak akan ada air menggenang. Pengolahan tanahnya pun sedemikian rupa sehingga air hujan bisa langsung meninggalkan lokasi.

Promotor tanaman kedelai ini adalah Adi Widjaya. Dialah putra daerah Grobogan lulusan Universitas Satya Wacana Salatiga yang memenangi lomba technoprenuer Bank Mandiri.

Mikroba temuannya telah memenangkan hadiah Rp1 miliar. Dengan syarat hadiah itu untuk pengembangan kedelai dengan menggunakan temuannya itu.

Adi berhasil mengumpulkan petani yang mau mencoba teknik dan pupuk yang dia temukan. Tentu dengan benih dan pupuk yang diberikan gratis dari uang Rp1 miliar itu. Total terkumpul sekitar 1.000 hektare tanah yang mau dipakai uji coba.

Inilah kedelai unggul yang luar biasa. Dengan menggunakan teknik baru itu akan bisa dihasilkan 2,5 ton per hektare. Sekitar dua kali lipat dari produksi kedelai dengan cara lama.

Kalau saja semua petani kedelai menggunakan cara ini, maka kekurangan produksi kedelai nasional bisa diatasi. Impor kedelai bisa dikurangi secara drastis.

Tanaman kedelai yang saya tinjau itu memang sangat jelas bedanya. Daunnya lebih tebal, pohonnya lebih tinggi, dan cabang-cabangnya lebih banyak.

Daun yang tebal itu berfungsi untuk penyerapan sinar matahari yang lebih maksimal.

Cabang yang banyak itu berfungsi untuk menghasilkan buah kedelai yang lebih banyak.

Mengapa kedelai ini ditanam di luar musim? "Agar hasilnya bisa untuk benih yang akan ditanam di musim tanam akan datang," ujar Adi Widjaya yang setelah lulus Satya Wacana meneruskan kuliah di Australia itu.

"Jadi, tanaman kedelai ini bukan untuk dikonsumsi, tapi untuk benih," tambahnya.

Tentu para petaninya beruntung. Dengan panen di luar musim harga kedelainya sangat baik. Apalagi kualitas benih.

Maka persoalan berikutnya adalah ini: maukah petani di desa Selo itu menanam kedelai dengan teknik yang sudah mereka kuasai itu tanpa bantuan dari Bank Mandiri lagi? "Mauuuuuuu," jawab para petani itu serentak.

Tentu saya masih khawatir dengan jawaban itu. Jangan-jangan hanya karena ada saya. Atau karena ada Pak Bupati Bambang Pudjiono. Maka satu per satu saya tanya mengapa mereka mau meneruskan sendiri teknik baru itu tanpa bantuan.

"Hasilnya sudah kelihatan jelas berbeda," ujar seorang petani yang masih muda . "Kami mau maju Pak Menteri," ujar yang lain.

"Niki mboten mawi bantuan malih lho. Tetep sanggup," tanya saya. "Sangguuuuup," ujar petani serentak.

Saya tegaskan bahwa Bank Mandiri saya minta tetap memberikan dana, tapi untuk desa lain. Agar penggunaan teknik baru itu segera meluas. "Mangertooooos," jawab mereka.

Memang, seperti dijelaskan Adi Widjaya, untuk menerapkan teknik baru itu biayanya bertambah Rp500.000 per hektare. Tapi hasilnya bertambah Rp3 juta.

Inilah yang juga saya khawatirkan. Kadang, dengan alasan lagi tidak punya uang, petani mengorbankan hasil yang maksimal. Karena tidak ada uang, petani pasrah: menerima saja hasil seadanya.

Itulah sebabnya program "yarnen" (bayar setelah panen) BUMN harus terus diperluas. Untuk mengatasi sikap pasrah para petani.

Tentu tidak hanya untuk kedelai. Saat ini kami juga lagi bicara dengan dua ilmuwan terkemuka kita yang hasil penemuannya belum dimanfaatkan secara memadai. Itulah topik Manufacturing Hope minggu depan.  (E007/Z002)

Oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014