Pada prinsipnya media itu berfungsi sebagai pemberi solusi terhadap sebuah pemberitaan, di sini media harus mampu menjadi peredam untuk semua isu yang beredar, bukan malah memprovokasi dan memperkeruh suasana,"
Jakarta (ANTARA News) - Reformasi 1998, yang disebut-sebut sebagai tonggak kebebasan berdemokrasi, membawa perubahan besar terhadap dunia pers atau media masa khususnya dalam memberitakan sebuah isu, tetapi setelah 16 tahun berjalan, kebebasan pers itu dinilai justru keluar dari jalur, terutama tentang etika pemberitaan.

"Pada prinsipnya media itu berfungsi sebagai pemberi solusi terhadap sebuah pemberitaan, di sini media harus mampu menjadi peredam untuk semua isu yang beredar, bukan malah memprovokasi dan memperkeruh suasana," ujar Direktur Pemberitaan Perum LKBN Antara, Akhmad Kusaeni, dalam diskusi terbuka dengan Radio Rasal AM 720 di Wisma Antara, Jakarta, Selasa.

Kusaeni memberi contoh tentang kebebasan pers dalam menggunakan istilah-istilah atau kosa kata tertentu, yang justru berdampak negatif terhadap sebuah pemberitaan.

"Contohnya saja menggunakan istilah killing field, atau istilah genosida. Dua istilah ini dipakai oleh beberapa media untuk mendramatisasi keadaan saat konflik Muslim Rohingya di Myanmar.

Padahal istilah killing field merupakan pembunuhan masal saat rezim Khmer Rouge, di Kamboja 1975--1979. Dan konflik yang terjadi di Mynmar tidak memakan korban sebanyak konflik yang terjadi di Kamboja" jelas Kusaeni.

"Apa dampak yang ditimbulkan terhadap pemberitaan ini?, hal ini justru memancing kemarahan umat Islam di Indonesia, seharusnya sebuah berita itu harus mampu menjadi kontrol" lanjutnya.

Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat itu juga memberi perbandingan antara kontrol pemberitaan yang ada di Indonesia dan luar negeri.

Di Amerika Serikat, sebuah media tidak diizinkan untuk menampilkan seorang teroris di televisi, kata dia, karena jika ini dilakukan maka sama halnya memancing kemarahan masyarakat Amerika yang sangat anti dengan terorisme terutama dengan Islam.

Sedangkan di Indonesia, media massa dengan sengaja, menampilkan seorang teroris yang akan di eksekusi mati bahkan ditampilkan secara "live" dan ditonton oleh seluruh masyarakat Indonesia.

"Seharusnya Media mempertimbangkan dampak sistemik yang ditimbulkan apakah itu dari sisi kemanuasian ataupun dari sisi empati bagi para korban," katanya.

Sementara itu Kusaeni juga membahas tentang porsi berita yang ada di Indonesia.

Menurut dia, banyak media yang beranggapan bahwa berita yang berkaitan dengan agama bukanlah berita yang penting jika dibandingkan dengan berita politik, hukum maupun ekonomi.

Bahkan, menurut dia, berita agama cenderung memberitakan sebuah konflik daripada pemberitaan yang bersifat positif. Hal ini tentunya semakin memberi jurang antara satu agama dengan agama yang lainnya.

"Media itu memang bebas, tapi memiliki batas," demikian Akhmad Kusaeni. (*)

Pewarta: Arnaz-Puteri
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014