Protokol Nagoya akan menciptakan kepastian hukum yang sangat bagus dan transparan baik bagi penyedia maupun pengguna sumber daya genetik.
Jakarta (ANTARA News) - Ratifikasi Protokol Nagoya menjadi undang-undang merupakan momentum bagi Indonesia untuk mencegah pencurian sumber daya genetik (SDG) dan pengetahuan tradisional (biopiracy)

"Ratifikasi Protokol Nagoya ini memastikan kita bisa mengatasi biopiracy, jangan wilayah kita hanya ditempati saja berbagai keanekaragaman hayati yang dimanfaatkan negara lain tapi kita tidak dapat keuntungannya," kata Deputi III Kementerian Lingkungan Hidup, Arief Yuwono, di Jakarta, Kamis.

Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup itu menjelaskan, dengan diratifikasinya Protokol Nagoya maka akan jelas perlindungan terhadap SDG dan pengetahuan tradisional atas SDG.

Sebagai negara kepulauan yang mempunyai luas 1,3 persen dari luas permukaan bumi, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan SGD yang besar.

Indonesia dikenal sebagai negara keanekaragaman yang besar, sekitar 17 persen keseluruhan makhluk hidup terdapat di Indonesia. Selain itu juga merupakan salah satu dari 12 Pusat Keanekaragaman Hayati karena merupakan kawasan terluas di Pusat Indomalaya.

Di Indonesia terdapat sekitar 28.000 jenis tumbuh-tumbuhan dan diantaranya terdapat 400 jenis buah-buahan yang dapat dimakan dan sangat bermanfaat sebagai sumber keragaman genetik bagi program pemuliaan. Misalnya pisang, durian, salak dan rambutan merupakan buah asli Indonesia.

Selain itu juga memiliki 7.500 jenis tumbuhan obat yang merupakan 10 persen tumbuhan obat yang ada di dunia. Namun demikian, baru 940 spesies tanaman yang telah diidentifikasi dan lebih dari 6.000 spesies tanaman bunga, baik yang liar maupun dipelihara telah dimanfaatkan untuk keperluan bahan makanan, pakaian, dan obat-obatan. Temulawak yang berkhasiat sebagai hepatoprotektor, kemudian purwoceng, cabe jawa sebagai afrodiasiak, adalah tanaman asli Indonesia.

"Protokol Nagoya akan menciptakan kepastian hukum yang sangat bagus dan transparan baik bagi penyedia maupun pengguna sumber daya genetik," tambah Arief.

Selain itu, dengan ratifikasi memberikan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dan komunitas lokal sebagai penyedia SDG dan pengampu pengetahuan tradisional terkait SDG serta menjamin haknya sebagai penerima pembagian keuntungan atas pemanfaatan SDG.

Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013