Hidup tidak sulit bagi anak cucu diktator yang hartanya bertumpuk-tumpuk."
Ketika akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka korupsi proyek Hambalang, masa-masa yang sulit agaknya akan dirasakan dalam hidup politisi muda yang memetaforakan diri sebagai "bayi yang kelahirannya tak dikehendaki" itu.

Anas, ketahuilah bahwa hidup itu sulit bukan cuma buat anda. Setiap orang tertakdir dalam situasi eksistensial yang tak gampang. Diktum ini bukan keluar dari mulut orang jalanan tapi buah pikiran sastrawan pemikir besar peraih Nobel Albert Camus. "Life is hard for everyone," tulis pengarang berkebangsaan Prancis itu.

Siapapun bisa menampik pernyataan itu. Orang di warung kopi bisa berkoar: "Hidup tidak sulit bagi anak cucu diktator yang hartanya bertumpuk-tumpuk." Ya, mereka tidak sulit memenuhi kebutuhan jasmani mereka. Segalanya tersedia, bahkan guru-guru terbaik untuk pendidikan mereka bisa disediakan. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa mereka bisa melewati hidup dengan bahagia di tengah kutukan sosial?

Bahkan orang brilyan yang terlahir dari keluarga terhormat pun tidak akan melewati hidup ini dengan mudah. Yang paling fenomenal dalam riwayat kuno adalah sejarah hidup Sang Buddha. Hidup dalam keluarga kerajaan yang tak kurang suatu apa dan sejak belia dikondisikan menikmati lezatnya duniawi, Buddha pada akhirnya sampai pada kesadaran bahwa hidup seseorang dirundung duka dengan wajah yang paling nyata: sakit, menua dan menemui ajal.

Untuk melawan duka dan sengsara dalam hidup, Buddha mengambil jalan ekstrem: menaklukkan duka dengan mencintainya. Dia meninggalkan kenikmatan duniawi karena semua itu hanya ilusi dan dengan segera akan menguap dari kemampuan syaraf mencecap manisnya dunia. Tubuh manusia begitu rapuh untuk mereguk manisnya harta bertumpuk-tumpuk. Dari hari ke hari semakin terbukti bahwa mereka yang berlebihan dalam mereguk kenikmatan adalah mereka yang paling rentan sengsara. Sengsara jasmani belum separah sengsara rohani.

Artinya: keberlimpahan tanpa kemampuan menahan diri mendatangkan penyakit raga, tapi keberlimpahan yang mengakibatkan kebosanan hidup melahirkan penyakit psikis.

Dalam konteks penyakit psikis inilah, ada nasihat yang pantas dipertimbangkan. Petuah ini berhubungan dengan ranah psikis yang bernama perasaan cinta. Sekalipun merujuk ke cinta pada manusia, sesungguhnya petuah itu bisa diluaskan ke ranah cinta dunia.

"Siapa yang berbunga-bunga karena cinta, dia harus siap kecewa karenanya. Jangan menangis karena cinta sebab kita akan meninggalkan semua yang kita cintai," pesan Buddha.

Karena hidup itu sulit bagi setiap orang, maka masing-masing pribadi mencoba ancang-ancang dalam menyikapi hidup ini. Ada sebuah perumpamaan bahwa hidup ini ibarat perjalanan ke puncak gunung. Semua orang terlahir untuk menjawab tantangan mendaki sampai puncak. Sebagian besar memilih cukup bernikmat-nikmat di kaki gunung, tak perlu mengerahkan keringat berlebihan tapi tetap bersenang-senang.

Ada sebagian kecil yang tak puas dengan pencapaian hidup senang di kaki gunung. Mereka ini berusaha terus mendaki sampai di punggung gunung. Mereka kehabisan tenaga dan merasa cukup sampai di sana. Mencoba menikmati pemandangan yang lebih leluasa dari mereka yang hanya tinggal di kaki gunung.

Tapi ada segelintir orang-orang yang ingin sampai di puncak. Mereka inilah yang bisa menghayati hidup sejati: pengerahan tenaga sampai tetes darah terakhir. Mereka inilah yang paling bisa berkata bahwa untuk sampai di puncak orang perlu bertarung. Pertarungan terbesar adalah melawan godaan untuk berhenti berjuang karena tanpa pertarungan lebih lanjut toh sudah lumayan dibanding kebanyakan orang yang cuma sampai di kaki dan punggung gunung.

Bahkan beberapa di antara orang yang pernah sampai di puncak pun, masih ada yang ingin meraih yang terbaik dari puncak-puncak yang ada. Inilah ilustrasi puncak terbaik itu: di Amerika Serikat, atau di manapun, ada pribadi yang ingin menjadi yang terbaik di sekolah. Selanjutnya, dia ingin menjadi yang terbaik di lingkungan profesinya. Lalu dia ingin menjadi orang nomor satu di negeri itu. Setelah tercapai, dia ingin menjadi presiden kedua kalinya sekaligus jadi orang yang terbaik di antara presiden-presiden sebelumnya.

Kata-kata Camus itu agaknya perlu ditangkap dalam konteks semacam itu: selalu mencoba tantangan yang masih bisa ditaklukkan. Dengan begitu, hidup selalu sulit bagi setiap orang. Hanya orang yang terus mencoba menaklukkan kesulitan itulah yang berhak berumah di tangga yang lebih tinggi dari lereng gunung kehidupan ini.

Kalau Anas sempat merenungkan kata-kata Camus ini, bekas Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam itu mungkin akan tersenyum sekalipun ucapan Camus itu tak dimaksudkan untuk menghibur para tersangka korupsi. 
(M020)

Oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013