Tanpa kita membangun industri berbasis tebu secara komprehensif dari hulu ke hilir, sesungguhnya swasembada gula akan sulit tercapai.
Surabaya (ANTARA News) - Industri gula telah hadir di Indonesia sejak ratusan tahun silam, ketika pemerintah Kolonial Belanda menjejakkan kekuasaannya di Bumi Pertiwi.

Bahkan, pada sekitar tahun 1930-an, Indonesia pernah tercatat sebagai negara eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba, dengan produksi mencapai tiga juta ton per tahun.

Produksi tersebut mengalahkan negara-negara lain yang dikenal sebagai produsen gula dunia saat ini, semisal Brazil, India, dan Thailand.

Akan tetapi, posisi Indonesia sebagai negara eksportir gula lambat-laun menyusut dan disalip oleh negara-negara tersebut. Angka produksi tiga juta ton tak pernah lagi bisa direalisasikan, bahkan kini bisa dibilang makin tertinggal.

Terakhir pada 2012, produksi gula nasional hanya mencapai sekitar 2,56 juta atau meningkat dibanding 2011 yang hanya 2,2 juta ton. Jumlah produksi itu belum mampu menutupi kebutuhan nasional terhadap gula konsumsi (gula kristal putih) yang mencapai sekitar tiga juta ton.

Sejak beberapa tahun lalu, pemerintah telah mencanangkan program swasembada gula (untuk pemenuhan gula konsumsi) bisa direalisasikan pada 2014 dan berbagai upaya untuk menuju ke arah itu terus dilakukan.

Salah satu upayanya adalah peningkatan produksi dan produktivitas tebu dengan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Selain juga melalui program revitalisasi pabrik lama dan pembangunan pabrik baru.

"Melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan, diharapkan terjadi peningkatan produktivitas tebu dari sebelumnya sebesar 81,81 ton per hektare menjadi 86,4 ton per hektare pada tahun 2014," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa.

Sejatinya, program revitalisasi industri gula sudah dicanangkan dan dibahas dalam berbagai forum seminar, diskusi dan lainnya, namun berkali-kali pula strategi dan sasaran revitalisasi gagal, bahkan terputus di tengah jalan.

Hampir sebagian besar pelaku industri gula dan pihak-pihak yang menaruh perhatian tinggi terhadap sektor ini, mulai mencemaskan masa depan dunia pertebuan itu.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) HM Arum Sabil menilai wajar jika strategi dan sasaran revitalisasi tidak bisa mencapai hasil maksimal, karena pemerintah terkesan setengah hati melakukan program itu.

"Padahal, petani dan pabrik gula sudah melakukan upaya-upaya perbaikan dari sisi budidaya tanaman dan `off-farm` (pabrik gula). Kalau tidak ada dukungan penuh dari pemerintah, bagaimana hasilnya bisa maksimal," katanya.

Dari perhitungan APTRI, kapasitas produksi sebanyak 62 unit pabrik gula (sebagian besar milik BUMN sudah berusia tua) yang kini beroperasi masih bisa dioptimalkan hingga tiga juta ton, untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi secara nasional.

Asumsi itu dihitung berdasarkan kapasitas giling 62 pabrik mencapai 205.000 ton tebu per hari, rendemen sembilan persen dan masa giling berjalan 170 hari.

Selain dukungan pendanaan yang memadai, pemerintah juga harus melindungi petani tebu melalui kebijakan-kebijakan yang memihak mereka, sehingga petani tetap nyaman dan termotivasi untuk menanam tebu.

"Salah satunya kebijakan soal pembatasan gula impor, khususnya rafinasi, yang selama beberapa tahun terakhir selalu menjadi momok bagi petani," tambah Arum.


Tantangan Besar

Saat ini, industri gula nasional dihadapkan pada berbagai tantangan yang berat dan mengharuskan industri padat karya ini untuk melakukan perubahan-perubahan dengan tidak lagi hanya menjalankan aktivitas bisnis secara datar-datar.

Program swasembada gula tidak bisa hanya dilihat sebagai upaya memenuhi kebutuhan produksi gula, tetapi lebih penting lagi bagaimana membangun sebuah industri berbasis tebu yang kompleks dan terintegrasi dari hulu hingga hilir.

"Tanpa kita membangun industri berbasis tebu secara komprehensif dari hulu ke hilir, sesungguhnya swasembada gula akan sulit tercapai," kata Ketua Ikatan Ahli Gula Indonesia Ir Subiyono, dalam sebuah diskusi di Surabaya akhir 2012 lalu.

Sebagai sebuah komoditas yang "highly regulated", lanjut Subiyono, industri tebu memiliki sekian banyak masalah yang cukup kompleks.

Pada satu sisi biaya produksi gula terus naik seiring kenaikan harga tebu dan upah pekerja, tapi di sisi lain harga gula tidak bisa dibentuk pada tingkat yang menjanjikan laba, karena perhitungan daya beli konsumen dan intervensi pemerintah.

"Setiap harga gula mengalami kenaikan cukup tinggi, pemerintah turun tangan melakukan intervensi. Kondisi ini membuat marjin produsen gula tidak akan cukup untuk ekspansi perluasan lahan maupun membangun pabrik baru," ujar Subiyono yang juga Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X (Persero) itu.

Padahal, industri gula membutuhkan banyak investasi, mulai dari pabrik hingga budidaya tanaman. Jika sekadar mengandalkan dari bisnis gula, sampai kapanpun upaya optimalisasi laba akan sulit dilakukan.

Langkah memperoleh tambahan belanja modal untuk investasi juga tidak mudah, karena selama ini lembaga keuangan belum begitu percaya dengan perusahaan berbasis agribisnis, mengingat ketergantungannya terhadap iklim yang cukup besar.

Menurut Subiyono, langkah diversifikasi usaha menjadi salah satu jawaban untuk mengembalikan kejayaan industri gula nasional.

"Namun, diversifikasi bukan urusan mudah dan hanya bisa dijalankan jika pabrik gula yang ada kondisinya sudah efisien dan mencapai tahap optimal. Karena itu, harus ada strategi EDO (efisiensi, diversifikasi dan optimalisasi)," ucapnya.

Hasil kajian Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) menyebutkan, tingkat efisiensi pabrik gula yang dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih di bawah 79 persen, sedangkan tingkat efisiensi standar internasional sebesar 85 persen.

Direktur P3GI Aris Toharisman menjelaskan, belum maksimalnya tingkat efisiensi tersebut menjadi salah satu penyebab tidak maksimalnya produtivitas gula, kendati dari sisi budidaya sudah dilakukan perbaikan dengan penciptaan varietas bibit tebu unggul.

"Inefisiensi membuat biaya produksi gula menjadi tidak ekonomis. Idealnya biaya produksi gula sekitar Rp5.800-Rp6.000 per kilogram, tapi saat ini angkanya masih di atas itu," ujarnya.

Menurut Aris, efisiensi menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan industri gula nasional, melalui program peningkatan kualitas "in-house keeping" dan pengurangan ketergantungan terhadap bahan bakar minyak pada pabrik gula.

Khusus program "in house keeping", Menteri BUMN Dahlan Iskan melontarkan harapan agar kondisi pabrik gula di lingkungan BUMN bisa seperti mal (pusat perbelanjaan), kendati usianya sudah sangat tua.

"Penggunaan ampas tebu sebagai bahan bakar alternatif untuk produksi pabrik gula, adalah langkah tepat untuk menekan biaya BBM dan itu sudah dilakukan pabrik gula milik PTPN X serta beberapa perusahaan lainnya," tambah Aris.

Dari data yang dihimpun ANTARA, PTPN X mampu melakukan efisiensi biaya BBM untuk 11 pabrik gula yang dikelolanya di Jawa Timur, dari sebelumnya sekitar Rp130 miliar pada 2007, menjadi hanya Rp4 miliar selama 2012.

Dari pemanfaatan limbah tebu tersebut, perusahaan pelat merah ini berani menargetkan "zero BBM" untuk seluruh pabrik gulanya pada 2014.


Co-generation

Kini setelah program efisiensi dan optimalisasi pabrik gula sudah dijalankan, PTPN X mulai melaksanakan program diversifikasi dengan menggarap produk turunan tebu, seperti bioetanol dan program "co-generation" yang memroses ampas tebu menjadi energi listrik.

Tebu merupakan tanaman yang tergolong paling efisien dalam mekanisme fotosintesis untuk mengubah energi surya menjadi biomassa, yakni sumber karbon dan energi terbarukan.

Setiap satu hektar lahan tebu diperkirakan mampu menghasilkan lebih kurang 200 ton biomassa setiap tahunnya. Berdasarkan hasil kajian P3GI, terdapat sepuluh jenis produk hilir tebu yang bisa dikategorikan sebagai unggulan.

Dari jumlah itu, enam produk di antaranya berbahan baku tetes, satu jenis produk bisa didapatkan dari tetes atau nira, dan tiga jenis produk lainnya dari ampas tebu.

Dirut PTPN X Subiyono mengemukakan, produk-produk turunan tebu yang potensial hanya membutuhkan proses teknologi dalam skala medium, namun mayoritas produk memerlukan investasi besar untuk pengembangannya.

"Nilai investasi yang tinggi itu sebenarnya akan terkompensasi dengan untung yang menjanjikan, mengingat potensi pasar produk turunan tebu sangat menjanjikan," katanya.

Program diversifikasi pernah dilakukan industri gula Indonesia pada era tahun 1950 dan 1960-an dengan berdirinya pabrik lilin dari blotong yang diekspor ke mancanegara dan sejumlah pabrik alkohol dan spiritus di beberapa pabrik gula.

Saat ini, terdapat sekitar 45 industri yang menghasilkan 14 jenis produk dari turunan tebu. Hanya saja, sebagian besar industri tersebut dimiliki perusahaan yang sama sekali tidak bergerak di bisnis pengolahan tebu.

Menurut Subiyono, pemanfaatan produk hilir tebu non-gula bisa berkontribusi hingga 60 persen terhadap total pendapatan pabrik gula.

Salah satu produk turunan yang berpotensi pasar tinggi adalah bioetanol yang bisa diproduksi dari tetes tebu atau molases. Bioetanol adalah energi alternatif yang sangat berguna di tengah makin mahal dan terbatasnya energi fosil.

Sayangnya, selama ini pabrik gula di Indonesia hanya menyuplai tetes tebu ke pabrik lain yang mengembangkan produk turunannya, tanpa bisa memanfaatkannya.

"Saat ini kami sedang merampungkan proyek pengembangan bioetanol di PG Gempolkrep, Mojokerto, bekerja sama dengan New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang. Targetnya tahun ini sudah dioperasikan," kata Subiyono.

Pabrik bioetanol yang dibangun dengan investasi mencapai Rp467,79 miliar itu (Rp154 miliar merupakan hibah NEDO), memiliki kapasitas produksi 30 juta liter per tahun. Bahan baku tetes akan disuplai dari pabrik gula sendiri.

Selain itu, PTPN X juga telah merintis program "co-generation" dengan memproduksi energi listrik dari ampas tebu di PG Ngadiredjo Kediri, dan rencananya juga dijalankan di PG Pesantren Baru Kediri dan PG lainnya.

"Energi listrik bisa digunakan untuk kebutuhan pabrik dan kelebihannya dijual kepada PLN. Ini sebenarnya yang tidak terpikirkan oleh kita, karena memang investasinya tidak mudah," tambahnya.

Industri gula Indonesia sebenarnya sangat terlambat menjalankan program diversifikasi, karena negara-negara produsen gula utama di dunia, seperti Brazil, India, dan Thailand, sudah sejak lama melakukannya.

Subiyono berharap ada jaminan regulasi dari pemerintah, termasuk soal penentuan harga listrik dan garansi kontrak jangka panjang, agar praktik bisnis "co-generation" yang dikembangkan pabrik gula bisa memberikan hasil optimal.

(D010/Z002)

Oleh Didik Kusbiantoro
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013