Jakarta (ANTARA) - Riset yang dilakukan oleh Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Indonesia Institute for Social Development (IISD) menunjukkan bahwa ada pelajar Indonesia yang mulai merokok pertama kali sejak mereka duduk di bangku PAUD.

“Sebanyak 0,28 persen responden kita dari total 1.275 responden mengatakan pertama kali merokok saat mereka PAUD,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat IPM Nashir Efendi dalam Diskusi Media bertajuk Data Outlook Perokok Pelajar 2022 di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, Rabu.

IPM dan IISD bersama Peneliti Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) sebelumnya telah melakukan riset mengenai Data Outlook Perokok Pelajar Indonesia 2022 dengan total responden sebanyak 1.275 orang dari 175 kabupaten/kota.

Survei ini dilakukan kepada responden yang merupakan pelajar SMP/sederajat dan SMA/sederajat dalam kurun waktu antara 4 sampai 16 September 2022 melalui google form.

Baca juga: PKJS UI: Perlu naikan harga rokok lebih tinggi cegah smoking relapse

Baca juga: Pusat kajian UI: lebih dari 50 persen anak alami kekambuhan merokok


Secara rinci, 1.275 responden tersebut meliputi 638 laki-laki dan 637 perempuan dengan rentang usia 11 sampai 19 tahun dan duduk di kelas antara tujuh hingga 11.

Dari hasil survei ternyata sebanyak 0,28 persen dari total 1.275 responden mengaku pertama kali merokok ketika mereka di usia PAUD sedangkan mayoritas responden yaitu 22,25 persen mencoba rokok pertama kali pada usia 15 tahun.

“Untuk anak, pertama kali merokok dengan persentase terbanyak ialah sejak kelas tujuh yaitu sebesar 2,54 persen diikuti dengan kelas enam sebesar 1,41 persen,” ujar Nashir.

Jenis rokok yang dikonsumsi oleh 67,65 persen responden merupakan rokok konvensional sedangkan 1,47 persen responden merokok jenis elektrik sementara 30,88 persen responden mengonsumsi rokok baik elektrik maupun konvensional.

Dalam riset ini ternyata juga diketahui bahwa mayoritas responden yakni 46,31 persen mengenal rokok karena adanya pengaruh dari teman yang bahkan sebanyak 2,94 responden mengaku mengenal rokok dari orang tua mereka.

Dari 1.275 responden, sebanyak 63,97 persen di antaranya memiliki orang tua yang merupakan perokok aktif sedangkan orang tua 36,03 persen responden sisanya bukan merupakan perokok.

Sementara itu, adanya kondisi stres menjadi motif utama yang mendorong mayoritas responden yakni sebanyak 29,41 persen untuk merokok sedangkan rasa penasaran menduduki posisi kedua yaitu dialami oleh 24,26 persen responden.

Bahkan sebanyak 7,35 persen responden pun mengaku bahwa mereka merokok demi rasa solidaritas baik dengan lingkungan tempat tinggal maupun dengan teman-teman.

“Untuk motif merasa keren dialami oleh 0,74 persen responden, karena terintimidasi 2,21 persen, karena kebutuhan 3,68 persen dan karena solidaritas 7,35 persen,” kata Nashir.

Kemudian, sebanyak 48,53 persen responden mengatakan mereka menghabiskan satu sampai lima batang rokok per hari sedangkan untuk 11 sampai 20 batang per hari hanya dilakukan oleh 5,15 persen responden.

“Dalam perspektif cara membeli rokok, pelajar membeli rokok secara ketengan yaitu 86,77 persen yang terhitung besar dibandingkan yang membeli bungkusan yaitu 13,23 persen,” ujarnya.

Selain itu, sebanyak 75 persen responden mengatakan mereka pernah merokok di rumah sedangkan 25 persen sisanya tidak pernah merokok di rumah.

Meski demikian, para responden yang merupakan pelajar itu cukup tertib untuk tidak merokok di sekolah yaitu sebanyak 67,65 persen responden sedangkan sisanya yaitu 32,35 persen masih nekat merokok di sekolah.

Fakta itu menunjukkan bahwa pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tidak sepenuhnya diterapkan dengan baik karena terdapat temuan di lingkungan pendidikan masih ada yang menjual rokok.

Terakhir, riset ini turut menemukan fakta bahwa sebanyak 78,43 persen responden mengaku terpapar asap rokok dalam sebulan terakhir.

Jumlah ini terhitung besar seiring tingkat keterpaparan terjadi di tempat publik seperti tempat bermain yaitu sebanyak 54,98 persen responden, tempat umum 34,82 persen responden, sekolah 29,8 persen responden, tempat ibadah 16,08 persen responden dan rumah 49,33 persen responden.

“Lagi-lagi pendidikan kita belum menjamin sterilnya kesehatan sebab disini masih ditemukan kasus di mana pelajar merokok di sekolah,” ucap Nashir.*

Baca juga: KemenPPPA: Keluarga perokok tingkatkan risiko anak jadi perokok muda

Baca juga: Iklan dan promosi rokok marak, jumlah perokok anak meningkat

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023