London (ANTARA News) - Kaum Nahdliyyin dari berbagai pesantren di pelosok tanah air menemukan nilai-nilai Islam di Kerajaan Inggris yang selama ini banyak ditinggalkan dan mungkin semakin jauh dari kehidupan rakyat Indonesia. "Di sini kami merasakan adanya ruh Islam," ujar Edi Rakhmat Widodo dari PP Lembaga Dahwah PB NU Jakarta yang menjadi pimpinan rombongan 12 kyai dan pengurus pesantren di bawah NU yang tengah mengikuti pelatihan manajemen yang diselenggarakan oleh PB NU bekerjasama dengan Kedutaan Inggris di Jakarta dan British Council selama satu bulan. Wartawan ANTARA dari London, Senin melaporkan para kyai dan pengurus pesantren yang berada di bawah PB NU itu mengadakan pertemuan dengan pengurus NU di Kerajaan Inggris, K.H. Machfudz Noor di Wisma Merdeka, Wilseden Green, London. Pelatihan manajemen "Education Management Training" untuk para pengurus pesantren diadakan di Universitas Leeds, berlangsung sejak tanggal 10 April hingga 5 Mei 2006 diikuti oleh pengasuh pondok pesantren dari Propinsi Papua, Palu, Sumatera Utara, Sematera Selatan, Kupang, Sulawesi Tengah, Pekalongan, Pontianak, Lamongan, dan Depok. "Saya melihat banyak pola-pola hidup Islam yang diterapkan dalam kehidupan di UK," ujar Adrian M Pd dari Pondok Pesantren Sabilul Hasanah Sumatera Selatan. Ia mengatakan dirinya banyak belajar bagaimana kehidupan multi etnis dan kultural yang ada di Inggris, sekaligus sambil bersilaturahmi dengan masyarakat Islam khususnya NU UK. Sementara itu, Chusnu Yuli Setyo M Pd, pengurus Ponpes Sunan Drajat Medali Lamongan, Jawa Timur, yang memiliki sekitar 15.000 santri melihat Inggris yang terkenal dengan toleransi antara kultur dan etnis sangat menarik untuk dipelajari. Menurut Chusnu, sesuai dengan paham NU yang moderat sehingga NU bisa diterima oleh masyarakat Indonesia yang multi kultural serta etnis maupun bahasa. "Kita bisa belajar bagaimana kehidupan umat Islam yang ada di luar Indonesia," katanya. Hal senada juga dikatakan oleh Pimpinan Pondok Pesantren Darus Dakwah Wal-Irsyah (DDI) Jayapura ,H Muh Said HK. Terlalu singkat Sementara itu, Mochammad Machrus, lulusan Kairo di bidang filsafat dari Ponpes Al-Masyahad Pekalongan yang berada di bawah Yayasan Pendidikan Al Fairus mengakui bahwa pendidikan kursus manajemen yang hanya berlangsung selama sebulan,itu dirasakannya terlalu singkat. Namun demikian, Ponpes yang didirikan oleh sang kakek KH Subki Masyhadi, di tahun 1986, Machrus mengatakan bahwa bagaimanapun program pelatihan yang diikutinya sangat bermanfaat bagi pengembangan pesantren terutama yayasan Al Fairus yang akan mendirikan Islamic Boarding School di kota Pekalongan. Fitryani Wahab (25) dari Ponpes Al-Hikmah Kupang Nusa Tenggara Timur mengatakan bahwa dirinya merasa bangga bisa mengikuti program ini karena begitu banyak manfaat yang didapatnya dan berjanji akan mensosialisakan di Ponpes yang memiliki 55 orang mualaf dari Timor dan bahkan telah memiliki Radio Dakhwah. Hal yang sama juga diakui oleh Aminah dari Pondok Pesantren Alkhairaat Palu Sulawesi Tengah yang memiliki santri sebanyak 180.000 orang. Putri KH Abdillah Muhammad Al-Djufri yang duduk di Rais Syuria NU itu juga bercerita pengalamannya tentang peristiwa Poso yang merupakan konflik antara dua umat beragama. Sementara itu, mengenai budaya baca orang Inggris juga dikagumi oleh Titik Suryani dari PP Darul Ulum Kuala Dua, Pontianak, Kalimantan Barat, pimpinan KH Chairuman al Rabbini yang di tahun 1977 memiliki 850 murid, 250 di antaranya tinggal di asrama. Selain budaya baca orang Inggris sangat tinggi, Titik Suryani juga melihat budaya antri sangat menggagumkan serta giat bekerja dan mandiri, semua dilakukan sendiri tampa bantuan orang lain, sebelumnya ia juga tidak membayangkan banyaknya umat muslim di Inggris serta makanan halal yang ada. Program pendidikan manajemen untuk para pengasuh pondok pesantren diisi dengan kegiatan kunjungan ke obyek-obyek wisata seperti Istana Buckingham Hyde Park yang ada di London serta mengunjungi Gereja St Paul`s Cathedral, Islamic Cultural Centre dan berdiskusi dengan pimpinan agama lainnya dalam forum antar agama. Para peserta juga berkunjung ke kota-kota di Inggris lainnya seperti York yang sangat terkenal dengan keindahannya, kota pelajar Oxford. Perkembangan tanah air Pada acara bincang-bincang dengan pengurus NU UK yang telah lama tinggal di Inggris, pimpinan rombongan Edy Rakhmad Widodo juga menguraikan tentang sikap PB NU terhadap perkembangan di tanah air akhir-akhir ini terutama berkaitan dengan isu Islampobia. Dikatakannya di kalangan orang Barat non Muslim tumbuh persepsi bahwa Islam itu menakutkan. Hal tersebut karena adanya ekstrim kanan dan eksrim kiri dimana eksrim kanan terkait dengan tindakan-tindakan anarkis yang mengatas namakan Islam. Sementara ekstrim kiri dimana berkembang Islam liberal. Sementara soal RUU APP, bagi NU menilai masalah itu lebih bersifat ke dalam, masalah umat di mana 60 juta umat dan berharap tidak akan terbawa oleh arus negatif, lebihbersifat kedalam,dan tetap menghargai prularitas yang merupakan kodrad bangsa Indonesia yang merupakan suatu kekayaan bangsa. Mengenai latar belakang program pelatihan yang khusus ditujukan dikalangan NU, Edy mengakui selama ini di Barat, khususnya Inggris, mereka lebih mengenal Islam yang datang dari Iran, Irak, Pakistan, negara Arab dengan segala macam aksesorisnya, sementara Islam di Indonesia maupun Malaysia tidak pernah dilihat yang memiliki keramahtamahan. (*)

Copyright © ANTARA 2006