Kupang (ANTARA News) - Mantan Ketua DPRD Timor Timor semasa integrasi dengan Indonesia, Armindo Soares, menilai pemerintah Indonesia terlalu terburu-buru memberikan respon terhadap laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) Timor Leste kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pemerintah Indonesia seharusnya mempelajari dulu laporan tersebut sebelum memberikan reaksi, agar Indonesia tidak dinilai sedang berupaya membela diri dalam menghadapi tuduhan, kata Armindo Soares, di Kupang, Jumat. Dia mengemukakan pandangan itu berkaitan dengan reaksi pemerintah Indonesia terhadap laporan CAVR (Commisao de Acqhimento Verdade Reconsiliacao (CAVR) Timor Leste kepada PBB, yang mencatat sebanyak 102.800 orang terbunuh saat pemerintah Indonesia berada di Timor Timur. Menurut dia, laporan yang dikeluarkan oleh CAVR tentang jumlah korban yang dibunuh selama kurun 1974-1999 itu tentunya tidak hanya dilakukan oleh TNI/Polri. Korban yang meninggal itu juga termasuk yang dibunuh Fretelin atau organisasi-organisasi rakyat yang didirikan untuk melakukan perlawanan terhadap TNI dan Polri dan juga yang meninggal akibat perang saudara. "Jadi tuduhan itu tidak semata-mata dialamatkan kepada TNI/Polri yang melakukan pembunuhan selama Timtim berintegrasi dengan Indonesia," katanya. Karena itu, lanjut dia, pemerintah Indonesia perlu mempelajari secara seksama laporan CAVR itu, sebelum memberikan klarifikasi dengan membeberkan data-data pembanding. Laporan CAVR diserahkan langsung oleh Presiden Timor Leste, Xanana Gusmao, kepada Sekjen PBB Kofi Annan di Markas PBB New York, Jumat (20/1). Dalam catatan CAVR disebutkan bahwa jumlah korban didapat melalui penghitungan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. CAVR juga telah melakuan survei mortalitas dan pendataan pada pemakaman-pemakaman umum. Disebutkan pula bahwa tentara Indonesia pada kurun waktu itu telah melakukan pelanggaran kemanusiaan dengan melakukan penyerangan pada orang-orang sipil. Armindo juga memuji sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menolak bertemu dengan Presiden Xanana sebagai bentuk dukungan terhadap reaksi masyarakat Indonesia terhadap laporan Xanana ke PBB. (*)

Copyright © ANTARA 2006