Jakarta (ANTARA) - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menginginkan layanan registrasi atau pendaftaran kapal ikan dapat didekatkan dan disosialisasikan lebih gencar agar nelayan kecil di berbagai daerah dapat memahami manfaatnya.

"Kurangnya kesadaran nelayan untuk mengurusnya (registrasi kapal), hal tersebut dikarenakan tidak jelasnya keuntungan nelayan jika memenuhi atau mengurus registrasi kapalnya," kata Ketua Harian KNTI Dani Setiawan kepada ANTARA di Jakarta, Senin.

Menurut Dani, pihaknya telah melakukan survei terkait beberapa faktor penyebab lambatnya registrasi kapal nelayan. Ia mengungkapkan, hasilnya adalah nelayan umumnya menilai masih belum optimalnya fungsi pemerintahan dalam pelabuhan perikanan.

"Harapannya fungsi pemerintahan bukan hanya dioptimalkan di Pelabuhan Perikanan tipe PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera), PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara), PPP, (Pelabuhan Perikanan Pantai) juga skala PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan), sehingga mendekatkan pelayanan dalam pengurusan registrasi kapal," ucapnya.

Kedua, masih menurut dia, adalah karena terpisahnya fungsi-fungsi pelayanan di instansi yang berbeda sehingga sebaiknya pelayanannya bisa terintegrasi.

Saat ini, lanjutnya, nelayan kesulitan mengurus karena yang satu menjadi kewenangan Dinas Provinsi dan satu lagi KSOP. (Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan), terlebih jarak tempuh juga menjadi kendala, apalagi di daerah-daerah kepulauan.

"Contoh misalnya, nelayan Demak harus ke Jepara untuk mengurus pas kecil. Atau dalam bahasa sederhana, pelayanan registrasi kapal nelayan harus memudahkan dan mendekatkan infrastruktur pelayanan ke nelayan langsung," ujarnya.

Senada, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyatakan bahwa penyelenggara negara harus lebih aktif misalnya dengan menggencarkan sosialisais dan langsung membuka pos layanan di lapangan.

"Nelayan kecil sudah terlampau berat beban hidupnya, sehingga pelayan publik mesti jemput bola, bukan duduk di belakang meja," kata Abdul Halim.

Sebelumnya, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyatakan bahwa masih banyak kapal berukuran kecil milik nelayan yang belum terdaftar oleh pemerintah sehingga juga menjadi tantangan dalam menerapkan kebijakan penangkapan terukur.

"Sejauh ini pemerintah belum pernah melakukan kegiatan sensus kapal ikan, sehingga jumlah kapal yang teregistrasi diperkirakan jauh dari angka yang sebenarnya," kata Abdi.

Mengantisipasi penangkapan ikan berlebih atau overfishing, pihaknya mendukung pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk melakukan registrasi kapal ikan melalui kegiatan pengukuran dan penerbitan pas kecil.

Ia mengingatkan bahwa bila sensus penduduk dengan 270 juta jiwa berhasil dilakukan maka hal serupa dapat dilakukan untuk memastikan jumlah kapal ikan dari berbagai ukuran yang diperkirakan jumlahnya kurang dari 700 ribu di Tanah Air.

"Mestinya (sensus kapal nelayan atau pelaku usaha perikanan) menjadi prioritas pemerintah saat ini," kata Abdi.

Menurut dia, registrasi kapal ikan merupakan titik masuk untuk penelusuran hasil tangkapan tuna jika Indonesia ingin mengikuti sertifikasi produk oleh sejumlah lembaga internasional.

Baca juga: DFW sebut masih banyak kapal nelayan belum terdaftar oleh pemerintah
Baca juga: KKP: Digitalisasi pelayanan Standar Laik Operasi mudahkan nelayan
Baca juga: Kuota penangkapan ikan, KNTI: Lindungi wilayah tangkap nelayan kecil

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022