Monopoli kuota perikanan pada akhirnya akan menciptakan kemiskinan baru di sektor perikanan
Jakarta (ANTARA) - Pengamat kelautan Abdul Halim meminta kebijakan penangkapan terukur yang akan diterapkan KKP pada 2022 harus dapat mengantisipasi potensi monopoli kuota penangkapan ikan oleh sejumlah pihak.

"Monopoli kuota perikanan pada akhirnya akan menciptakan kemiskinan baru di sektor perikanan. Dengan dijualnya kuota perikanan (dari nelayan kecil ke pihak industri yang lebih besar), maka risiko munculnya tindak pidana kejahatan di sektor perikanan rentan terjadi," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu, potensi bisa berpusatnya kuota perikanan kepada satu pihak berisiko menimbulkan diskriminasi perlakuan kepada warga negara, khususnya mereka yang berprofesi sebagai nelayan tradisional.

Ia juga berpendapat bahwa monopoli kuota perikanan juga berimbas pada privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir.

"Jika hal ini terjadi, nelayan kecil kehilangan aksesnya ke laut dan aksesnya untuk menangkap ikan di laut sebagai mata pencaharian," katanya.

Abdul juga memaparkan, prasyarat utama dalam penerapan konsep kebijakan penangkapan terukur, termasuk kuota penangkapan di dalamnya, apakah sudah tersosialisasikannya Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

Ia mengakui bahwa sudah banyak sekali provinsi yang telah mengesahkan RZWP3K mereka, tetapi pertanyaannya apakah RZWP3K tersebut sudah tersosialisasikan dengan baik kepada masyarakat perikanan, khususnya yang berskala kecil.

Abdul menuturkan bahwa sepertinya konsep kuota dalam penangkapan terukur meniru seperti yang dilakukan di kawasan Uni Eropa.

"Sebetulnya tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia, karena spirit kita adalah gotong-royong. Gotong-royong itu dicirikan oleh semangat untuk saling membantu, tidak mendiskriminasi dan menindas, serta dilatari oleh rasa senasib dan seperjuangan. Kuota perikanan bertolak dari semangat individualisme," paparnya.

KKP bakal menerapkan kebijakan penangkapan terukur dengan memberlakukan zonasi di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) ke dalam tiga zonasi, yaitu zonasi penangkapan ikan berbasis kuota, zona penangkapan ikan non kuota, dan zona penangkapan ikan terbatas.

Zona penangkapan ikan berbasis kuota terletak antara lain terdapat di Laut Natuna, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Sulawesi, Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Timor bagian Timur, laut Sawu, kawasan perairan Samudera Hindia, dan kawasan perairan Samudera Pasifik.

Dalam menentukan kuota tersebut, KKP menggunakan basis data yang dikeluarkan oleh Komnas Kajiskan yang tujuannya untuk menjaga populasi ikan di tiap zona. Sedangkan cara untuk memastikan ikan yang ditangkap sesuai dengan kuota dan zonasinya, KKP menyiapkan teknologi pengawasan berbasis satelit.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan akan memberi sanksi tegas kepada penerima kuota yang melanggar aturan main, mulai dari denda hingga pembatasan kuota yang diterima.

"Kalau dia melebihi kuota yang ada, itu ia melawan ekologi ya harus ada denda. Entah itu bayar dua kali lipat atau kuotanya dibatasi di tahun depan," ungkap Menteri Trenggono.

Penerapan kebijakan penangkapan terukur diakuinya sebagai program terobosan yang akan mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi khususnya di wilayah pesisir, peningkatan kualitas dan mutu produk perikanan, penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar, pemberantasan IUU Fishing, hingga peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional.

Baca juga: Menteri KKP sebut penangkapan terukur buka lapangan kerja anak muda
Baca juga: Badan Riset-SDM KKP ungkap kajian dukung penangkapan terukur
Baca juga: KKP: Penangkapan terukur perlu untuk jaga stok ikan di laut

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021