Jakarta (ANTARA News) - Orang Jakarta asli itu adalah campuran seluruh etnis berbagai negara di dunia yang masuk ke kawasan ini sejak beberapa abad silam, demikian salah satu benang merah kajian diskusi terbatas di `Fadli Zon Library`, di Jakarta, Rabu.

Diskusi mengangkat tema khusus: "VOC, Pedagang atau Penjajah", dihadiri lebih 20-an tokoh beraneka latar, termasuk mantan menteri dan menampilkan pakar sejarah Prof Dr Djoko Marihandono, Dr Batara R Hutagalung serta Dr Harto Juwono.

Mereka mengungkapkan bahwa Batavia adalag nama sebuah suku di Negeri Belanda.

"Ini kemudian diadopsi jadi Betawi. Dan karenanya, sebenarnya tak ada orang asli Betawi. Yang ada ialah percampuran etnik dari mana-mana, termasuk Eropa, Arab, Tionghoa, bahkan Afrika, termasuk dari Nusantara," ujar Batar Hutagalung.

Diskusi yang dimodetarori langsung Fadli Zon ini, kemudian menyimpulkan, pentingnya terus menggali sejarah, demi menemukan jati diri serta nilai-nilai kebenaran untuk menghantar kepada perbaikan serta kemajuan.

Gugat Belanda

Para pembicara serta peserta diskusi juga menguliti kiprah `Verenigde Oost-Indische Compagnie` (VOC), sebuah kongsi dagang atau bahkan koperasi kecil yang kemudian berkembang jadi raksasa bisnis global di masa itu.

Harto Juwono dan Batara Hutagalung sepakat menyatakan, inilah `BUMN` Belanda yang sesungguhnya hanya merupakan kongsi dagang kecil, tetapi kemudian menjadi sebuah lembaga berkuasa besar.

VOC ternyata kemudian mendapat hak bikin angkatan perang, mencetak uang, membuat sertifikat tanah, bahkan berkuasa menangkap para raja (serta sultan) yang enggan atau menolak diajak bekerjasama.

Mereka, kata Harto Juwono, dengan sangat tidak adil memperlakukan penduduk tempatan dalam hal kepemilikan tanah.

"Soal kepemilikan tanah, ada ketidakladilan, yakni, orang timur asing asal Tionghoa dan Arab diberi (sertifikat) tanah sangat banyak dan besar-besar, sementara bumiputera gigit jari," tandasnyua.

Proses penindasan dan penghisapan (atas sumber kekayaan alam), kata Djoko Marihondo, berlanjut pada pemberdayaan tenaga manusia.

Batara Hutagalung kemudian membeberkan sikap tidak simpatik Belanda yang baru mengakui kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2005 lalu atau setelah 60 tahun Bung Karno membacakan teks proklamasi.

"Kami kini sedang melakukan aksi menggugat mereka. Dan perjuangan ini tidak hanya di sini, tetapi hingga ke tanah Belanda," katanya.

Para pakar sejarah itu juga sudah serta sedang melakukan gugatan-gugatan lain terkait tindak semena-mena penjajah Belanda di beberapa daerah di Indonesia. (*)
M036/A027

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011