Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum DPP Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) Ahmad Basarah mengapresiasi upaya Presiden Joko Widodo dalam mengantisipasi upaya penetrasi ideologi transnasional, yaitu ideologi asing yang dapat menggerus nasionalisme dan Pancasila.

Menurut Ahmad Basarah, berdasarkan keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin, upaya Presiden Jokowi itu dapat dilihat melalui penetapan Hari Santri Nasional, Hari Lahir Pancasila, dan pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

‘’Kebijakan Presiden ini menjadi simbol persenyawaan antara Islam dan kebangsaan sebagaimana kesepakatan awal para pendiri bangsa ketika menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia,” kata dia saat menyampaikan pidato pembuka Kongres IV PA GMNI bertajuk “Nasionalisme Menjawab Tantangan Zaman”, Bandung, Senin.

Upaya antisipasi ideologi transnasional itu, menurut Ahmad Basarah yang juga merupakan Wakil Ketua MPR RI, diperlukan karena Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan.

Baca juga: Presiden harapkan kontribusi PA GMNI di berbagai arena kepemimpinan
Baca juga: Presiden: Kedaulatan bukan berarti menutup diri
Baca juga: Menteri agama pesan ke PA GMNI Jawa Timur perkuat nasionalisme


Dari luar negeri, tantangan muncul karena sejumlah ilmuwan sosial menyatakan pertarungan ideologi sudah berakhir. Para ilmuwan, seperti Daniel Bell dalam buku The End of Ideology dan Francis Fukuyama yang menulis The End of History, menilai dunia hanya didominasi liberalisme dan kapitalisme. Keduanya tampil sebagai pemenang pascaruntuhnya Uni Soviet dan Tembok Berlin.

‘’Namun, klaim-klaim kemenangan ideologi seperti itu tanpa disadari justru menjadi antitesis kebangkitan radikalisme dan ekstremisme di sisi lain, termasuk di negara kita,’’ ujar Ahmad Basarah.

Menurutnya, kebangkitan radikalisme dan ekstremisme di Indonesia dapat dilihat dari kemunculan kelompok penganut kedua paham itu. Kelompok itu, ujar dia, kerap berpandangan dan bertindak secara radikal serta ekstrem karena dikonstruksi oleh tafsir keagamaan yang sempit. Kemudian, ekstremisme agama itu melahirkan “politik antisemua”, kecuali pada kelompok dan keyakinan mereka sendiri.

‘’Mereka menolak dan memusuhi sistem sosial yang multikultural, Pancasila, NKRI, hingga pemerintahan yang menjalankan mandat rakyat yang dipilih secara demokratis,’’ jelas dia.

Oleh karena itu, Ahmad Basarah menilai kondisi seperti itu mengkhawatirkan. Kelompok tersebut, menurutnya, dapat menggunakan strategi "kudeta merangkak konstitusional" dengan memanfaatkan hak bicara, berkumpul, dan berpendapat untuk menyerang pemerintah yang sah dan simbol-simbol negara.

Selain itu, mereka juga bisa mempropagandakan ideologi yang dianutnya kepada generasi muda.

Secara perlahan, kata Ahmad Basarah, target mereka adalah menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Untuk itu, Ahmad Basarah meminta golongan kebangsaan dan golongan keagamaan untuk terus memperkuat sinergi, bahkan dapat melibatkan TNI atau Polri bersatu mengatasi ancaman terhadap ideologi bangsa.

Ahmad Basarah menyampaikan, berdasarkan catatan historis, sinergi ketiga elemen strategis bangsa Indonesia itu terbukti berhasil merebut dan mempertahankan kemerdekaan, nasionalisme, serta ideologi Pancasila dari semua ancaman.

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021