Jakarta (ANTARA) - Adanya regulasi pasar karbon dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon membuka peluang Indonesia untuk menerima pendanaan lebih luas dalam pengendalian perubahan iklim.

Direktur Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dewanthi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu, mengatakan Perpres Nomor 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang di dalamnya juga mengatur tentang pasar karbon itu diharapkan bisa menggerakkan lebih banyak pembiayaan dan investasi hijau yang berdampak pada pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).

Dalam Perpres Nilai Ekonomi karbon ada beberapa mekanisme perdagangan karbon yang diatur, yaitu perdagangan antara dua pelaku usaha melalui skema cap and trade, pengimbangan emisi melalui skema carbon off set, pembayaran berbasis kinerja (result based payment), dan pungutan atas karbon, serta kombinasi dari skema yang ada.

Laksmi mengatakan carbon pricing dapat menjadi insentif untuk pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) untuk pengendalian perubahan iklim.

Baca juga: Luhut: Perpres tentang Nilai Ekonomi Karbon telah disahkan Presiden

Baca juga: Presiden Jokowi sampaikan komitmen tangani perubahan iklim di COP26


"Carbon pricing diharapkan mendukung instrumen lain yang juga dilakukan seperti pengendalian kebakaran hutan, pencegahan deforestasi dan degradasi, atau transisi teknologi untuk mewujudkan energi baru terbarukan," katanya.

Ia menjelaskan Perpres tersebut ditujukan untuk pasar domestik maupun internasional. Jika perdagangan karbon terjadi antara dua entitas di dalam negeri, maka perhitungan pengurangan emisi GRK yang dicapai akan tetap diperhitungkan sebagai kontribusi Indonesia.

Duta Besar Indonesia untuk Jerman Arief Havas Oegroseno menyerukan agar dunia internasional mau mewujudkan penetapan harga karbon yang adil bagi negara-negara pemilik cadangan karbon.

Havas mengungkapkan pengalaman yang dialami sebuah negara di Afrika di mana cadangan karbonnya hanya ditawar sangat rendah dengan harga 2 dolar AS per ton. "Kalau harga segitu sama dengan kolonialisasi," katanya.

Sementara itu, Director Environment and Natural Resources Global Practice World Bank Benoit Bosquet mengapresiasi capaian Indonesia yang kini meregulasi carbon pricing.

Ia mengungkapkan bahwa berdasarkan laporan terbaru Bank Dunia penggalangan dana yang bisa dihasilkan dari perdagangan karbon itu bisa mencapai 53 miliar dolar AS pada tahun 2020. Sehingga dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk investasi hijau.

Ia juga mengingatkan perdagangan karbon tidak bisa bekerja sendirian untuk mencapai pengurangan emisi. Carbon pricing perlu didukung dengan kebijakan yang kuat, akuntabilitas dan transparan.*

Baca juga: Menteri LHK bahas karbon hingga implementasi UUCK dengan Bank Dunia

Baca juga: Presiden Jokowi ingatkan target penurunan Gas Rumah Kaca Indonesia

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021