Pengendalian penggunaan air tanah diharapkan menjadi salah satu kunci menekan penurunan tanah di Jakarta
Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah mengeluarkan peringatan dini kepada pemerintah dan masyarakat soal fenomena La Nina yang berpotensi menimbulkan peningkatan curah hujan.

Konsekuensinya, apabila curah hujan tinggi mencapai 70 hingga 100 persen berpotensi menimbulkan bencana berupa banjir dan tanah longsor di sejumlah daerah di Tanah Air.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Rapat Kerja Nasional (Rakornas) Antisipasi La Nina, Jumat (29/10) menyebutkan fenomena La Nina diperkirakan akan berlangsung hingga "level" moderat yang puncaknya terjadi pada Januari hingga Februari 2022.

Baca juga: Pemkot Jaktim dorong partisipasi warga cegah banjir

Fenomena alam ini muncul karena adanya anomali pendinginan suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah yang telah melewati ambang batas La Nina.

Sejak September 2021, suhu muka laut tercatat minus 0,63 kemudian lebih dingin pada Oktober 2021 mencapai minus 0,92 yang mengindikasikan penguatan intensitas La Nina dan apabila menyentuh angka satu, diperkirakan memasuki intensitas moderat.

Untuk itu, diharapkan pemerintah baik pusat dan daerah serta masyarakat mulai siap siaga menghadapi dampak musim hujan yang muncul akhir hingga awal tahun sekaligus mengantisipasi dampak dari fenomena La Nina.

"Intensitas hujannya dapat mencapai 100 persen untuk Desember 2021, jadi mohon yang terhormat bapak-bapak gubernur atau kepala daerah untuk memperhatikan potensi ini di bulan Desember," ucap Dwikorita.
Seorang petugas mengoperasikan ekskavator untuk mengangkut sampah organik dan anorganik di Waduk Pluit, Jakarta Utara, Jumat (29/10/2021). Tim Unit Pengelola Kebersihan (UPK) Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menargetkan pembersihan sampah pada waduk seluas 80 hektare tersebut dalam waktu sepekan sebagai upaya untuk mengantisipasi banjir. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/hp.

Ancaman Jakarta

Ancaman bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, hingga angin kencang berpotensi terjadi di sebagian wilayah Indonesia.

Namun kondisi di Jakarta dapat menjadi salah satu gambaran bagi daerah lain meski memiliki karakter dan topografi wilayah yang pastinya berbeda.

Tidak ada salahnya, pelajaran dalam penanganan bencana alam khususnya banjir ini perlu dicermati.

Sebagai ibu kota negara, Jakarta kerap menjadi pusat perhatian masyarakat Tanah Air terutama karena persoalan sosial di antaranya macet dan polusi udara, juga langganan banjir yang kerap disematkan di kota ini saat puncak musim hujan.

Tidak bisa dipungkiri, banjir menjadi momok bagi warga Jakarta yang memang lokasinya berada di dataran rendah. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebutkan wilayahnya menghadapi tiga ancaman, yakni dari pesisir utara, kawasan hulu atau pengunungan di selatan dan di dalam kota sendiri.

Pertama, di pesisir utara Jakarta ancamannya adalah banjir rob ketika permukaan air laut lebih tinggi dari daratan dan pada saat bersama terjadi hujan deras.

Adapun ancamannya, aliran sungai menuju muara akan bertemu dengan permukaan air laut yang lebih tinggi.

Baca juga: Waspadai cuaca ekstrem di DKI Jakarta pada 30-31 Oktober

Kedua, di hulu atau sisi selatan kawasan pegunungan mengalirkan air kiriman melalui 13 sungai yang membelah Jakarta dengan total daya tampungnya mencapai 2.300 meter kubik per detik.

Jika saat musim hujan, kapasitas air yang mengalir di bawah 2.300 meter kubik per detik, maka potensi banjir dapat diminimalkan. Namun beda cerita jika melebihi daya tampung itu.

Pasalnya, ketika hujan ekstrem di kawasan hulu, volume air melalui 13 sungai itu bisa mencapai 3.200 meter kubik per detik.

Ancaman ketiga adalah di dalam kota sendiri yakni kapasitas drainase yang saat ini mampu menampung air hujan hingga 100 milimeter per hari untuk drainase di jalan utama dan jalan raya, sedangkan di sekitar perkampungan, kapasitasnya hingga 50 milimeter per hari.

Pada Januari 2019, curah hujan pernah mencapai 377 milimeter per hari atau 3,7 kali lipat lebih tinggi dari kapasitas drainase, begitu juga saat Februari 2021 curah hujan sempat mencapai 250 milimeter per hari sehingga banjir tidak bisa dielakkan.

Upaya pemerintah

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu upaya ekstra dalam mengatasi potensi bencana rob di antaranya dengan mengerahkan mesin-mesin pompa air, baik yang memang disiagakan di sejumlah titik maupun dapat bergerak menyesuaikan kebutuhan.

Pembangunan tanggul juga dilakukan untuk mencegah banjir rob menggenangi daratan Ibu Kota.

Tak hanya itu, upaya berkelanjutan dan jangka panjang juga harus dilakukan karena rendahnya dataran di bagian utara Jakarta juga tidak bisa dilepaskan dari faktor penurunan tanah di wilayah pesisir.

Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Yusmada Faizal dalam seminar virtual Jakarta, the sinking city, Kamis (23/9) mengatakan rendahnya dataran utara Jakarta juga diperparah dengan turunnya tanah di pesisir Ibu Kota yang diperkirakan mencapai 10 cm per tahun.

Baca juga: Pemprov DKI siapkan 1.262 lokasi pengungsian

Meski begitu, ia menyebut sejak 2007 hingga 2017, laju penurunan tanah cenderung menurun, tidak lagi berada di atas 10 cm.

Pengendalian penggunaan air tanah diharapkan menjadi salah satu kunci menekan penurunan tanah di Jakarta, selain membangun sistem pemantauan penurunan tanah.

Mengendalikan penggunaan air tanah salah satunya dilakukan dengan menggenjot pelayanan air bersih perpipaan salah satunya didukung melalui pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Regional Jati Luhur dan Karian-Serpong.

Pembangunan SPAM Regional oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) itu ditargetkan beroperasi pada 2024 untuk memenuhi kebutuhan air di Ibu Kota.

Upaya penanganan banjir rob di pesisir Jakarta juga berkaitan dengan penanganan air kiriman dari kawasan hulu atau pegunungan yang melalui 13 sungai, dialirkan melalui kanal banjir barat dan timur.

Yusmada menjelaskan air dari hulu itu ditampung di sejumlah waduk di Jakarta kemudian dipompa ke laut melalui kanal banjir barat dan timur sebelum menuju ke hilir, agar aliran air di sungai Jakarta masih sesuai kapasitas yakni 2.300 meter kubik per detik.

Untuk menambah kapasitas waduk dan sungai di Jakarta, Dinas SDA juga menggenjot pengerukan lumpur dan sampah di waduk dan kali di lima wilayah melalui aksi gerebek lumpur yang dikerjakan bertahap hingga Desember 2021.

Di sisi lain, dua waduk di Ciawi dan Sukamahi, Jawa Barat yang dibangun pemerintah pusat juga diharapkan rampung akhir 2021 untuk menekan limpahan air dari hulu ke Jakarta.
Petugas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengerahkan alat berat mengangkat sampah di Pintu Air Manggarai, Jakarta, Senin (13/10/2021). ANTARA/HO-Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta


Penanganan sampah

Penanganan sampah yang menumpuk di pintu-pintu air juga menjadi perhatian karena dapat menjadi kendala aliran air dengan menyiagakan alat berat dan personel selama 24 jam.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menyiagakan 8.945 personel dalam satuan tugas penanganan sampah dan didukung 1.543 unit angkutan sampah, dan 118 alat berat.

Sementara itu, upaya penanganan banjir di dalam kota dilakukan dengan sistem drainase. Apabila curah hujan melebihi 100 milimeter per hari, maka dilakukan penyedotan menggunakan mobil tangki air dan pompa air.

Meski begitu, penambahan kapasitas drainase juga perlu dilakukan untuk memberi ruang lebih besar menampung aliran air.

Pemprov DKI kini memasang alat pengukur curah hujan di 267 kelurahan di Jakarta, dari awalnya hanya ada di 10 kelurahan, sehingga kondisi curah hujan dapat diketahui untuk antisipasi banjir saat hujan ekstrem.

Baca juga: Anies sebut percepatan penanganan genangan banjir bisa dapat KPI

Tak hanya itu, Pemprov DKI juga menyiapkan 1.262 lokasi pengungsian banjir dengan daya tampung mencapai sekitar 105.804 jiwa, kemudian sarana prasarana pendukung seperti tenda pengungsi, dapur umum, hingga logistik untuk mengantisipasi dampak musim hujan ekstrem.

Musim hujan merupakan siklus tahunan yang terus menerus terjadi, lengkap dengan dampak yang perlu diantisipasi.

Peringatan dini yang dikeluarkan BMKG harus menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat agar selalu siap siaga, tanggap dalam respons dan tak lupa saling bersinergi sehingga dampak bencana alam itu bisa dikendalikan.

Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021