Islam di Tanah Air tidak berwajah tunggal dan selalu terbuka
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj mengingatkan bahwa Islam di Tanah Air pada dasarnya bersifat dinamis karena tidak berwajah tunggal dan selalu terbuka.

“Islam di Tanah Air pada dasarnya sifatnya dinamis, karena tidak berwajah tunggal dan selalu terbuka,” ujar Said dalam keterangan tertulisnya pada peringatan Hari Santri yang diterima di Jakarta, Sabtu.


Said Aqil Siradj mengajak para santri untuk merefleksikan kembali sejarah masuknya peradaban Islam di Indonesia yang saat itu kebudayaan Hindu dan Buddha telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan.


Kiai Said mengingatkan, Islamisasi yang terjadi kala itu tumbuh melalui proses sosial budaya yang terjadi secara bertahap.

 

“Namun uniknya, penyebaran Islam yang demikian cepat tidak mengindikasikan adanya cara-cara paksaan atau penaklukan agama. Proses Islamisasi nusantara tidak memunculkan pemisahan tegas antara Islam dan non-Islam, sebaliknya tradisi lokal Hindu, Budha dan Islam saling mengisi,” lanjut dia.


Said Aqil Siradj mengatakan bahwa setiap umat memiliki kebanggaannya masing-masing, baik itu bahasa, agama, maupun seni budayanya. Untuk itu, setiap orang harus saling menghormati dan tidak saling mencaci.


Said Aqil juga mengingatkan bahwa sejarah menggambarkan karakter Islam yang dibawa oleh pendakwah tidak menekankan aspek hukum fikih semata, melainkan juga karakter sufi yang kuat sehingga masalah moral akhlak dan hakikat agama menjadi perhatian ulama Islam tasawuf.


Baca juga: Menag minta santri jangan terjebak pada identitas "sarungan" semata

Baca juga: Perpres pendanaan pesantren jadi kado terindah Hari Santri 2021

 

“Islam sufi atau sufistik menekankan prinsip pokok agama seperti hubungan dengan Tuhan, menyempurnakan akhlak, dan keseimbangan hidup tanpa meninggalkan aspek syariat Islam,” kata Aqil Siradj.


Karakter itulah yang menurutnya menjadikan proses Islamisasi menjadi lentur, namun berdampak bagi masa depan. Keluwesan itu dapat dilihat dari sikap para wali yang tidak melarang pertunjukan wayang sekalipun itu merupakan hasil karya pujangga Hindu, melainkan memodifikasi alur cerita dan memaknai kembali simbol dan karakter dalam narasi yang disampaikan.


Said Aqil Siradj menegaskan bahwa Islam di Indonesia tidak pernah berkembang secara seragam.

 

“Munculnya keragaman dalam penghayatan Islam merupakan keniscayaan sosiologis dari proses interaksi kultural. Setiap kelompok dari berbagai strata sosial dan subkultur memiliki kekuasaan mengekspresikan pemahamannya sendiri. Hasilnya, masing-masing kelompok dengan sendirinya terdorong untuk bersikap moderat dalam beragama,” tambah dia.
 

Ia menggarisbawahi, sumbangan penting dari metode dakwah para wali dan ulama terdahulu adalah model keberagamaan yang plural, terbuka dan toleran terhadap peradaban Islam Nusantara yang sangat besar.
 

Saat ini, umat Islam di Indonesia masih menemui tantangan dengan munculnya kalangan yang mempertentangkan kesesuaian tradisi tertentu dengan Islam. Inilah yang melahirkan lahirnya sikap menghakimi suatu tradisi dengan vonis sesat, syirik, bidah, bahkan kafir. Sikap ini merupakan hambatan serius bagi kemajuan kebudayaan di Indonesia.
 

Baca juga: PBNU: Revolusi Industri 4.0, santri jangan kehilangan jati diri

Baca juga: PBNU: Pendidikan pesantren lebih unggul



 

Pewarta: Indriani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021