Jakarta (ANTARA) - Orang yang sudah mendapatkan dua dosis vaksin Pfizer-BioNTech masih bisa terkena COVID-19 dalam beberapa bulan setelah vaksin, meskipun infeksi itu mungkin sangat ringan sehingga sepenuhnya bisa tidak terdeteksi, ungkap studi.

Walau begitu, dua studi baru yang diterbitkan di dalam New England Journal of Medicine (NEJM) pada pekan lalu, seperti dikutip dari Insider pada Senin  menunjukkan, suntikan mRNA Pfizer masih tetap efektif dalam mencegah rawat inap dan kematian setidaknya selama enam bulan, meskipun perlindungan terhadap penyakit yang lebih ringan serta tingkat antibodi dapat turun dalam menghadapi varian Beta dan Delta.

Baca juga: Humaniora kemarin, peluang pendidikan kades hingga depresi naik

Hasil studi ini menegaskan temuan pihak Pfizer, Moderna, serta Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) pada beberapa pekan terakhir. Menurut mereka, efektivitas vaksin Pfizer dalam mencegah infeksi virus corona dapat turun menjadi 47 persen dari 88 persen dalam enam bulan setelah pemberian suntikan vaksin dosis kedua.

Efektivitas vaksin melawan varian Delta yakni 93 persen setelah satu bulan pemberian dosis kedua. Lalu, setelah empat bulan pemberian dosis kedua, efektivitas vaksin Pfizer melawan varian Delta menurun menjadi 53 persen.

Sementara terhadap varian COVID-19 lainnya, efektivitas vaksin Pfizer melawan virus corona turun menjadi 67 persen dari semula 97 persen.

Temuan baru ini memperlihatkan kemampuan vaksin mRNA untuk melindungi tubuh dari infeksi virus corona yang dapat berkurang seiring waktu, sehingga suntikan ketiga atau booster bisa menjadi pertimbangan.

Menurut peneliti, vaksin booster sekitar 6-7 bulan setelah suntikan dosis kedua kemungkinan akan meningkatkan perlindungan terhadap virus corona.

Baca juga: Hoaks! Empat orang di Australia keguguran setelah disuntik Pfizer

Badan POM Amerika Serikat sebelumnya telah mengizinkan penggunaan dosis penguat vaksin Pfizer/BioNTech untuk orang dewasa yang lebih tua dan beberapa orang Amerika yang berisiko tinggi terinfeksi. Sementara itu, para ilmuwan meminta lebih banyak data tentang apakah booster harus direkomendasikan untuk semua kelompok usia.

Selain Amerika Serikat, Kementerian Kesehatan Malaysia juga telah memberikan persetujuan bersyarat untuk vaksin COVID-19 Pfizer-BioNTech sebagai suntikan booster. Persetujuan tersebut memungkinkan vaksin untuk digunakan hanya pada orang dewasa berusia 18 tahun ke atas, setidaknya enam bulan setelah mereka menerima suntikan dosis kedua.

Di sisi lain, pihak Pfizer mengatakan kemungkinan dibutuhkannya formula vaksin baru pada pertengahan tahun 2022 untuk melindungi orang-orang dari mutasi virus corona yang terjadi pada masa mendatang. Tetapi untuk saat ini, vaksin baru belum dibutuhkan.

Perlindungan kuat selama 6 bulan

Dalam studi pertama, para peneliti di Qatar (negara dengan lebih dari 82 persen orang yang divaksinasi lengkap) menyelidiki lebih dari 900.000 hasil tes PCR dari orang yang divaksinasi dengan Pfizer.

Mereka menemukan, perlindungan vaksin terhadap infeksi mulai menurun secara nyata sekitar empat bulan setelah suntikan kedua.

Menurut peneliti, perlindungan Pfizer terhadap infeksi setelah dosis pertama, meningkat menjadi 36,8 persen tiga minggu kemudian. Ketika orang kemudian menerima suntikan kedua, perlindungan vaksin mereka melonjak menjadi 77,5 persen dalam waktu sekitar empat minggu.

Vaksin juga memberikan perlindungan terhadap kasus COVID-19 yang parah, kritis, atau fatal dengan cepat yakni mencapai 96 persen atau lebih tinggi pada dua bulan pertama setelah orang divaksinasi lengkap.

Perlindungan kuat terhadap kondisi terburuk akibat COVID-19 terhadap seseorang bertahan setidaknya selama setengah tahun.

Sementara itu, perlindungan terhadap infeksi tanpa gejala berkurang lebih cepat, begitu juga pada infeksi COVID-19 yang lebih ringan.

Setelah orang mendapatkan dua dosis suntikan vaksin selama sekitar lima sampai tujuh bulan, para peneliti mengamati efektivitas vaksin Pfizer berkisar sekitar 20 persen. Meskipun hanya sekitar sepertiga dari infeksi menunjukkan tanpa gejala.

Baca juga: Respons sejumlah negara terhadap risiko peradangan jantung vaksin mRNA

"Perlindungan terhadap infeksi tanpa gejala berkurang lebih cepat daripada terhadap infeksi bergejala. Temuan ini menunjukkan, sebagian besar populasi yang divaksinasi dapat kehilangan perlindungannya terhadap infeksi dalam beberapa bulan mendatang," kata para peneliti studi.

Penelitian lain dari Qatar memperlihatkan, infeksi baru kurang menular ketimbang pada orang yang tidak divaksinasi. Hal ini menunjukkan, infeksi lebih kecil kemungkinannya untuk menyebar pada orang yang divaksinasi.

Studi lain dalam NEJM dilakukan di Israel, mengamati 4.868 petugas kesehatan yang telah divaksinasi dengan vaksin COVID-19 Pfizer.

Hasilnya, ada laporan antibodi penetralisir para partisipan ini terhadap COVID-19 secara substansial turun dalam enam bulan setelah menerima dosis kedua vaksin Pfizer.

Kondisi ini terutama terjadi pada pria, orang di atas usia 65 tahun, dan mereka dengan sistem kekebalan yang lemah.

Meski begitu, hanya 20 dari petugas layanan kesehatan tersebut yang mengalami infeksi baru selama masa studi. Hal ini menunjukkan, sekali lagi, bahwa perlindungan vaksin tetap kuat selama berbulan-bulan setelah orang disuntik.

Menurut peneliti, wajar jika antibodi penetralisir menurun setelah vaksinasi. Antibodi penetralisir bukan satu-satunya elemen respons imun yang melindungi seseorang pada infeksi.

Vaksin untuk kondisi lain seperti gondok, campak, dan rubella bahkan hanya menunjukkan penurunan kecil sekitar 5-10 persen setiap tahun dalam menetralkan tingkat antibodi, demikian kata para peneliti.


Baca juga: Malaysia luluskan Pfizer sebagai vaksin "booster"

Baca juga: Pfizer-BioNTech minta AS setujui vaksinnya buat anak-anak

Baca juga: Pfizer akan pelajari efektivitas vaksinnya lewat vaksinasi satu kota

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021