Jakarta (ANTARA) - Seperti kebanyakan pasien kanker payudara, dr. Khairatu Nissa Rangkuti juga merasakan benjolan pada payudaranya sebelum terdiagnosis kanker. Benjolan itu terasa saat dia menyusui dan semula dia anggap normal.
 
Dalam sebuah diskusi virtual, Nisa bercerita bahwa pada awalnya benjolan itu dia rasakan saat sedang menyusui, sehingga dia berpikir bahwa benjolan itu merupakan benjolan ASI yang dirasanya sebagai hal yang normal.

Pada minggu-minggu awal menyusui, payudara bisa menjadi terlalu penuh dengan ASI, membuatnya terasa kencang dan tidak nyaman. Di sisi lain, ada kemungkinan saluran kecil ke puting tersumbat menyebabkan ASI terperangkap di jaringan payudara lalu membentuk benjolan.

Dalam kebanyakan kasus, upaya seperti sering menyusui, memijat payudara, dan melakukan kompres hangat dapat membantu mengatasi saluran tersumbat.

Mastitis atau peradangan pada payudara juga bisa menjadi penyebab benjolan dan kondisi ini umumnya terjadi setelah pembengkakan atau saluran tersumbat. Biasanya wanita menyusui yang mengalami hal ini juga terkena demam, tak enak badan, dan muncul kemerahan pada payudara.

Pada kasus Nissa, benjolan perlahan membuatnya merasa tak nyaman pada payudara dan tangannya. Dia lalu berkonsultasi ke dokter dan mendapati diagnosis kanker payudara stadium 3.

“Itu anak saya pada usia 1,5 tahun. Saya mengira benjolan karena dia enggak menyusui banyak, karena sudah makan,” tutur dia.

Baca juga: Operasi bukan langkah awal penanganan benjolan payudara

Baca juga: Kanker payudara HER2 tak bisa dideteksi jika hanya meraba benjolan


Nissa kemudian menjalani kemoterapi. Tetapi, di tengah upayanya mendapatkan penanganan medis, pihak keluarga justru menyarankan pengobatan alternatif. Hasilnya, benjolan bertambah parah dan disertai munculnya semacam jerawat di sekitar payudara.

Dia lalu kembali menjalani kemoterapi dan terapi lain termasuk operasi, terapi target hingga radiasi. Namun, pada Oktober 2020 dia mendapati kankernya sudah menyebar ke otak.

Tak berniat putus pengobatan, Nissa menjalani kemoterapi dan radioterapi kepala. Saat in, dia masih rutin melakukan terapi obat, terapi target dan kemoterapi demi bisa pulih.
Nissa menjadi satu dari 60 persen pasien kanker payudara di Indonesia yang mengetahui penyakitnya dan berkonsultasi dengan dokter pada stadium lanjut yakni 3 dan 4. Pakar onkologi dari RS Kanker Dharmais, dr. Walta Gautama, Sp.B(K) Onk mengatakan, hal ini bahkan terjadi sejak 50 tahun terakhir.

Kondisi pandemi COVID-19 sejak awal tahun 2020 turun berperan dalam ditemukannya kasus-kasus stadium 3 dan 4 yang menurut Walta semakin meningkat. Pandemi menyebabkan tertundanya pengobatan karena berbagai organisasi profesi termasuk Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia mengeluarkan kebijakan tunda datang berobat ke dokter bila tidak ada keluhan.

Padahal, menurut Walta, pada prinsip penanganan kanker tidak bisa ditunda. Tetapi yang terjadi justru penundaan pengobatan, berkontribusi pada peningkatan kasus stadium lanjut.

Belum lama ini, dia bahkan masih menemukan pasien yang baru berobat karena menemukan benjolan yang sebenarnya sudah ada lebih dari setahun lalu. Sang pasien baru memutuskan berkonsultasi pada dokter saat kasus COVID-19 turun.

“Jadi ini sesuatu yang sangat mempengaruhi kita dalam penanganan kanker. Yang sebelumnya saja kita sudah terlambat, ditambah lagi dengan saat ini (pandemi COVID-19),” tutur Walta.

Keterlambatan pengobatan juga disebabkan hal lain yakni alur yang panjang hingga akhirnya pasien menjalani terapi yang tepat. Walta berkaca pada studi di Meksiko, mengatakan, seorang wanita dengan keluhan benjolan baru memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama setelah 1-2 bulan. Dia akan membutuhkan waktu 9-15 bulan untuk mendapatkan terapi yang tepat.

“Kami berikan masukan pada pemerintah tolong alurnya diperbaiki, kalau tidak, kita akan tetap pada stadium 3 dan 4 walau usaha deteksi dini lebih awal tetapi ternyata panjangnya ada di regulasi,” tutur dia.

Baca juga: Jangan takut dulu, tak semua benjolan di payudara itu kanker

Pentingnya deteksi dini

Deteksi dini menjadi satu langkah penting mengetahui tanda kanker payudara yang umumnya berupa benjolan. Walta mengatakan, sekitar 90 persen tanda utama kanker payudara berupa benjolan padat keras dengan tepi tak jelas.

Ada kesan benjolan itu melekat di otot atau kulit. Selain benjolan, terkadang bisa juga disertai keluarnya cairan merah di luar masa menyusui.

Benjolan ini bisa terdeteksi melalui pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). Walta menyarankan kaum hawa melakukan SADARI pada hari ke-7 hingga ke-10 setelah menstruasi hari pertama. Bila haid pada tanggal 1 maka sebaiknya dia melakukan SADARI pada tanggal 8 hingga 11.

Sementara pada mereka yang sudah menopause, SADARI bisa dilakukan kapan saja namun disarankan pada waktu sama setiap bulannya.

Saat melakukan SADARI, periksalah dan rabalah seluruh bagian payudara termasuk batasnya, seperti dua jari di bawah tulang selangka, garis tengah bagian ketiak dan batas bawah garis lingkar tengah payudara yang seiring bertambahnya usia terjadi pemadatan di sana. 
 
“SADARI sebaiknya dimulai sejak wanita tumbuh payudaranya, dilakukan setiap bulan,” kata Walta.
 

Bila merasa ada yang aneh, dia yang menjabat sebagai Ketua pengurus pusat Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia itu menyarankan para wanita segera berkonsultasi pada dokter agar dilakukan pemeriksaan payudara klinis (SADANIS). Ini termasuk upaya mengkonfirmasi benarkah tidak ada tanda kanker setelah dilakukannya SADARI.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan para wanita di bawah usia 40 tahun menjalani SADANIS sekitar 2-3 tahun sekali.

Di sisi lain, masih ada kemungkinan benjolan tak terdeteksi melalui perabaan atau bahkan taka da dan di sinilah pemeriksaan mamografi dibutuhkan. Menurut Walta, mamografi bisa menemukan tanda keganasan walau belum ada benjolan yang muncul.

Keganasan atau kanker pada payudara hingga saat ini tak bisa diketahui pasti penyebabnya. Tetapi pakar kesehatan mengaitkannya dengan hormonal. Bertambahnya usia menjadi salah satu faktor risiko walau usia terbanyak pasien kanker payudara saat ini berada pada kelompok usia 40-60 tahun.

Walta mengatakan, pemakaian preparat hormonal dalam hal ini estrogen dan konsumsi lemak berlebihan berhubungan dengan risiko munculnya kanker. Dia menyarankan wanita yang sudah berusia 50 tahun dan menopause tidak menambah berat badan lebih dari 3 kg demi menghindari bertambahnya lemak di dalam tubuh.

“Estrogen disimpan dalam bentuk lemak. Jadi bila seorang wanita umur sudah lebih dari usia 50 tahun tolong kurangi konsumsi lemaknya,” kata dia.

Konsumsi minuman beralkohol juga bisa menjadi faktor risiko seseorang terkena kanker. Etil alkohol memiliki bentuk bangun yang mirip dengan estrogen, sehingga mudah berubah menjadi estrogen. Penelitian memperlihatkan, seorang wanita yang rutin meminum 1 seloki wine dalam sebulan berisiko terkena kanker payudara di kemudian hari.

Demi menurunkan risiko terkena kanker payudara, menerapkan gaya hidup sehat termasuk asupan makanan bergizi seimbang dan berolahraga menjadi anjuran. Olahraga misalnya, dikatakan tak hanya mampu menurunkan risiko kanker tetapi juga mengurangi paparan hormonal. Menurut Walta, dengan berolahraga cadangan hormon estrogen dalam bentuk lemak akan dibakar.

Berkaca dari kisah Nissa, diharapkan para wanita peduli pada kesehatan payudaranya melalui SADARI setiap bulan demi mencegah kanker payudara baru terdeteksi pada stadium lanjut, diikuti SADANIS untuk memastikan ada tidaknya benjolan yang dicurigai tumor ganas atau kanker.

Baca juga: Spesialis: jangan anggap remeh benjolan di payudara

Baca juga: Tahukah anda sabun bisa bantu deteksi benjolan payudara? Ini penjelasannya

Baca juga: Benjolan padat keras pada payudara indikasi jelas kanker

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021