Meneliti peran burung sebagai bioindikator
Jakarta (ANTARA) - Beberapa pekan terakhir masyarakat dikejutkan dengan kejadian berturut-turut matinya ratusan bahkan ribuan ekor burung pipit di Kabupaten Gianyar di Provinsi Bali, dan Kota Cirebon di Provinsi Jawa Barat.

Kematian burung-burung pipit tersebut di Kota Cirebon merupakan peristiwa yang pertama kali terjadi. Sementara kejadian kematian burung itu bukan yang pertama terjadi di Bali.

Banyak dugaan yang bermunculan terkait penyebab kematian burung pipit tersebut, salah satunya karena penyakit infeksius seperti flu burung. Namun, dugaan tersebut berhasil dipatahkan melalui hasil uji laboratorium terhadap sampel burung pipit itu.

Masing-masing pemerintah daerah setempat telah mengambil tindakan baik sebagai langkah pertama yaitu mengirimkan sampel beberapa ekor burung mati untuk dianalisa di laboratorium veteriner (penyakit hewan).

Tim Medis Veteriner Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan (DKPPP) Kota Cirebon, Jawa Barat, melakukan pemeriksaan sampel dari burung pipit yang mati mendadak di halaman Balai Kota Cirebon untuk memastikan penyebab kematian burung pipit tersebut.

Sementara, petugas setempat di Bali mengambil sampel bangkai dan kotoran burung pipit untuk diperiksa di Balai Besar Veteriner Denpasar.

Langkah itu sangat penting karena bertujuan untuk mengetahui apakah burung-burung mati tersebut terpapar penyakit yang bersifat zoonotik atau penyakit unggas lain yang penyebarannya sangat cepat.

Seperti diketahui penyakit flu burung (avian influenza) bersifat zoonotik, yaitu termasuk penyakit menular yang bisa ditularkan dari satwa dalam hal ini burung kepada manusia atau sebaliknya.

Sedangkan penyakit ND (New Castle Disease) atau dikenal sebagai penyakit tetelo adalah penyakit unggas yang sangat cepat penyebarannya dan sangat fatal bagi ternak unggas tetapi tidak menular kepada manusia.

Berdasarkan hasil uji laboratorium yang diinisiasi pemerintah daerah setempat, terbukti bahwa burung pipit tersebut bukan mati karena penyakit infeksius seperti flu burung.

Namun, penyebab kematian burung pipit itu masih menyisakan tanda tanya di masyarakat. Muncul dugaan-dugaan berikutnya seperti penyebab kematian burung pipit itu adalah kandungan asam air hujan atau dugaan adanya penggunaan pestisida yang bisa meracuni burung.

Ada juga dugaan burung pipit tersebut mati karena perubahan cuaca yang drastis karena kejadian berlangsung setelah hujan deras dan angin kencang padahal sebelumnya suhu udara sangat panas.

Peneliti zoologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dewi Malia Prawiradilaga mengatakan kebenaran dugaan-dugaan tersebut perlu dibuktikan dengan data penelitian.

"Untuk itu, perlu dilakukan riset lebih lanjut untuk mengungkap penyebab kematian ribuan burung pipit secara ilmiah. Salah satu penelitian yang penting untuk dilakukan adalah meneliti peran burung sebagai bioindikator," katanya.

Penelitian tersebut hendaknya dilakukan dengan melibatkan berbagai bidang keahlian secara sinergi dan terpadu seperti ornitologi (ahli burung), veteriner, klimatologi (ahli cuaca dan iklim), kimia lingkungan, toksikologi (ahli racun) dan bidang lain yang sesuai.

Dengan demikian, diharapkan hasilnya akan mengungkap secara lebih akurat penyebab kematian burung pipit tersebut.

Bioindikator memainkan peran yang penting untuk memberikan informasi terkait dampak dari akumulasi polutan dalam suatu ekosistem dan lama masalah tersebut telah muncul.

Berdasarkan Wikipedia, bioindikator merupakan setiap spesies atau sekelompok spesies yang fungsi, populasi, atau statusnya dapat mengungkapkan status kualitatif lingkungan karena keberadaan atau perilakunya sangat berhubungan dengan kondisi lingkungan tertentu sehingga dapat digunakan sebagai suatu petunjuk.

Copepoda dan krustasea air kecil lainnya yang terdapat di berbagai perairan dapat dipantau untuk mengetahui perubahan biokimia, fisiologis, atau perilaku yang mungkin mengindikasikan masalah dalam ekosistem mereka.

Menurut Dewi yang juga merupakan penemu spesies burung Myzomela Irianae dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, hingga saat ini di Indonesia penelitian mengenai burung sebagai bioindikator lingkungan belum mendapat perhatian atau bisa disebut sangat langka.

Baca juga: Balai veteriner selidiki virus flu burung Kalsel

Baca juga: BKSDA: Ratusan burung pipit mati, diduga makan pakan tercemar


Penelitian yang tercatat pernah dilakukan adalah kandungan merkuri pada bulu burung liar.

Pada 1997, J Burges dan M Goschfeld telah melaporkan hasil penelitian konsentrasi logam berat merkuri dan mangan pada bulu tiga jenis burung air dari Bali dan Sulawesi dalam jurnal Archives of Environmental Contamination and Toxicology. Ketiga jenis burung air yang diteliti tersebut adalah kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul perak (Egretta intermedia) dan kuntul kecil (Egretta garzetta).

Kemudian, R Utina dan AS Katili pada 2014 mempublikasikan hasil analisis residu merkuri pada organ tubuh dan bulu empat jenis burung air yang mencari makan dipantai utara Gorontalo, Sulawesi Utara dalam International Journal of Waste Resources.

Keempat jenis burung air tersebut terdiri dari kokokan laut (Butorides striatus), trinil kaki kuning (Tringa flavipes), trinil pantai (Actitis hypoleucos) dan cerek besar (Pluvialis squatarola).

Penelitian terbaru kandungan merkuri pada bulu burung ordo Passeriformes dilaporkan oleh S Dzieski, DM Prawiradilaga dan R Rozavi dalam konferensi ahli burung di Amerika Utara (North American Ornithologists’ Conference) pada 2020.

Burung ordo Passeriformes tersebut berasal dari Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Adapun jenis burungnya terdiri dari rajaudang meninting (Alcedo meninting), rajaudang punggung merah (Ceyx rufidorsus), kehicap ranting (Hypothymis azurea), pelanduk Buettikofer (Pellorneum buettikoferi), pelanduk topihitam (Pellorneum capistratum), tukik tikus (Sasia abnormis) dan burung madu kelapa (Anthreptes malaccensis).

Sementara itu, peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova dan Triyoni Purbonegoro dalam risetnya terkait Konsep Bioindikator Untuk Penanda Degradasi Lingkungan Di Indonesia, mengatakan, dalam kegiatan pemantauan lingkungan dan upaya mengetahui tingkat pencemaran suatu lingkungan, pengaruh toksisitas suatu polutan terhadap organisme dan ekosistem dapat diketahui dari bioindikator.

Biota biasanya memiliki sensitivitas terhadap kondisi ekosistem sehingga bisa berperan sebagai bioindikator atau indikator biologi yang dapat mencerminkan kualitas suatu ekosistem atau lingkungan dengan mudah.

Beberapa jenis ikan dan moluska, ekinodermata, krustase dan cacing umum digunakan sebagai bioindikator.

Bioindikator akan menyediakan informasi penting tentang jumlah bahan pencemar yang terakumulasi dalam organisme dan pengaruh yang ditimbulkannya.

Dengan demikian, bioindikator dapat merefleksikan kondisi lokal suatu ekosistem atau kondisi lingkungan termasuk jika terjadi degradasi lingkungan sehingga dapat menjadi indikator kualitas lingkungan.

Sesungguhnya, masih banyak penelitian yang harus dilakukan untuk menjaga kesehatan lingkungan dengan memanfaatkan keberadaan biota termasuk burung liar seperti burung pipit menjadi bioindikator.

Fenomena kematian massal burung pipit di Kabupaten Gianyar di Bali, dan Kota Cirebon di Jawa Barat itu diharapkan bisa menjadi pemicu bagi semua pihak untuk meningkatkan perhatian dan memelihara lingkungan dengan dengan baik.

Baca juga: DKPPP Cirebon: Kematian ratusan burung pipit karena cuaca ekstrem

Baca juga: DKPPP Kota Cirebon periksa sampel burung pipit mati masal

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021