Semarang (ANTARA) - Belakangan ini publik diramaikan kembali soal pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah media mewartakan pemberhentian dengan hormat 56 pegawai KPK per 30 September 2021.

Bahkan, ada media yang membeberkan isi Surat Keputusan KPK Nomor 1354 Tahun 2021 perihal pemberhentian dengan hormat 56 orang dari total 75 pegawai gagal menjadi aparatur sipil negara (ASN) karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).

Apakah mereka sudah berakhir di lembaga antirasuah atau masih berpeluang bekerja kembali di KPK? Pertanyaan selanjutnya apakah SK yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri pada tanggal 13 September 2021 itu bisa digugat ke peradilan tata usaha negara (PTUN).

Namun, sebelum melangkah ke PTUN, alangkah baiknya menelusuri jejak peraturan perundang-undangan pegawai KPK untuk mengetahui status kepegawaian KPK sejak awal agar melihat persoalan ini secara jernih dan objektif.

Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK, pegawai komisi terdiri atas: pegawai tetap; pegawai negeri yang dipekerjakan; dan pegawai tidak tetap. Mereka yang telah diangkat sebagai pegawai pada Komisi, praktis berkompeten.

Namun, pegawai negeri yang dipekerjakan sebagai pegawai Komisi tidak kehilangan statusnya sebagai pegawai negeri. Ada ketentuan lain dalam PP No. 63/2005, masa penugasan pegawai negeri yang dipekerjakan pada Komisi paling lama 4 tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali.

Mengapa mereka harus mengikuti seleksi lagi untuk menjadi ASN, khususnya yang berlatar belakang PNS? Kenapa mereka tidak otomatis menjadi ASN?

Baca juga: Pimpinan KPK jelaskan soal penyaluran pegawai ke institusi lain

Pegawai negeri (vide Pasal 7 PP No. 63/2005) yang dipekerjakan pada Komisi dapat beralih status kepegawaiannya menjadi pegawai tetap sesuai dengan persyaratan dan tata cara yang ditetapkan dalam Peraturan KPK.

Pegawai negeri yang telah diangkat menjadi pegawai tetap pada Komisi diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri. Apakah ada di antara 56 orang yang mulai 1 Oktober 2021 tidak akan bekerja lagi di KPK semula berlatar belakang PNS?

Hal ini pun dikupas tuntas dalam Kajian Islam dan Konstitusi yang disiarkan melalui YouTube Salam Radio Channel, Jumat (17/9), dengan pembicara Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan dipandu Titi Anggraini.

Penuh Perjuangan

Sebelum mengupas atau menjawab tema "Sahkah Pemberhentian Pegawai KPK Tidak Lulus TWK?", Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013—2015 Hamdan Zoelva menyampaikan perjuangan pegawai KPK yang tidak lolos TWK.

Perjuangan mereka cukup panjang, mulai mengajukan keberatan terhadap pimpinan KPK, mengadu ke Komnas HAM, Ombudsman RI, hingga mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terhadap UUD NRI Tahun 1945.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 69B dan Pasal 69C UU KPK, penyelidik atau penyidik dan pegawai KPK belum berstatus sebagai pegawai ASN dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak UU ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai ASN sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Pakar: Presiden Jokowi kunci penyelesaikan polemik TWK pegawai KPK

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2019. Meski belum mencapai 2 tahun, sah-sah saja KPK melaksanakan TWK untuk pengalihan status pegawai menjadi ASN karena ada frasa "jangka waktu paling lama 2 tahun".

Selain, memenuhi amanat UU KPK, pelaksanaan tes selama 18 Maret hingga 9 April 2021 juga melaksanakan perintah PP No. 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN, serta Peraturan KPK No. 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN.

Dalam kurun waktu itu, sebanyak 1.351 pegawai KPK mengikuti rangkaian asesmen tes TWK. Pada tanggal 5 Mei 2021, melalui siaran persnya, KPK mengumumkan hasil asesmen. Tercatat 1.274 pegawai yang memenuhi syarat (MS), 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS), dan dua pegawai yang tidak hadir wawancara.

Selang sebulan, Juli 2021, sebanyak 24 orang yang tidak lulus asesmen TWK diberi kesempatan ikut pendidikan bela negara dan wawasan kebangsaan di Universitas Pertahanan.

Tercatat 18 pegawai KPK yang ikut Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Bela Negara dan Wawasan Kebangsaan dinyatakan lulus pada hari Jumat (20/8/2021).

Sementara itu, mereka yang terancam diberhentikan oleh pimpinan KPK, ada pula yang mengajukan uji materi Pasal 69B dan Pasal 69C UU No. 19/2019 terhadap UUD NRI Tahun 1945.

Pemohon Muh. Yusuf Sahide, S.H. yang bertindak dalam kedudukannya sebagai Direktur Eksekutif KPK menyampaikan bahwa pemohon berpotensi mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C UU No. 19/2019.

Pada hari Selasa, 31 Agustus 2021, majelis hakim konstitusi yang diketuai Anwar Usman membacakan Putusan Nomor 34/PUU-XIX/2021 menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya meski ada empat hakim konstitusi memberikan alasan berbeda (concurring opinion).

Dengan demikian, PP 41/2020 yang mensyaratkan adanya TWK dan Peraturan KPK No. 1/2021 tidak melanggar konstitusional. Dibenarkan secara hukum sekaligus mengakui peralihan status itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bukan Mandatory

Pada sesi tanya jawab, anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menanyakan mengenai rekomendasi Komnas HAM terkait dengan temuan sejumlah pelanggaran HAM. Begitu pula, Ombudsman menemukan malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK. Kenapa tidak ditindaklanjuti oleh KPK?

Hamdan yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam mengatakan bahwa KPK selayaknya memperhatikan rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas HAM agar ada garansi bagi pegawai KPK yang saat ini masih bekerja.

Baca juga: KPK bantah percepat berhentikan 56 pegawainya

Pada sisi lain, dalam hukum administrasi negara, apa yang disampaikan Ombudsman dan Komnas HAM bukan merupakan sesuatu mandatory atau menjadi kewajiban KPK untuk mengikutinya. Pada akhirnya, kata Hamdan, eksekutornya pada KPK.

KPK menganggap bahwa tidak ada suatu masalah pada pemberhentian terhadap pegawai yang tidak lolos TWK. Nah, sampai titik itulah dialog di tengah publik berakhir. Pimpinan KPK lantas mengumumkan mereka yang tidak lolos TWK akan diberhentikan sebagai pegawai.

Hamdan lantas merujuk pada PP No. 63/2005. Inilah yang menjadi dasar pegawai KPK diangkat. Rata-rata sebagian besar PNS yang menjadi pegawai KPK. Ketika di KPK alih status dari PNS menjadi pegawai KPK.

Pertanyaan hukum yang pertama adalah apakah pegawai tetap KPK itu pegawai swasta atau pegawai negara? Secara filosofis bahwa KPK itu adalah lembaga negara yang menurut MK masuk dalam ranah kelompok kekuasaan eksekutif. Lembaga antirasuah ini dibiayai APBN.

Jadi, KPK itu lembaga negara. Tentu masalah kepegawaian dalam lembaga negara tunduk pada UU Kepegawaian. Akan tetapi, berdasarkan amanat UU, KPK boleh mengangkat pegawai yang tidak berstatus PNS.

Dalam mengangkat pegawai tetap di bawah naungan KPK, Hamdan melihat bahwa pegawai KPK kalaupun tidak PNS karena bekerja di lembaga negara, mereka di bawah nomenklatur instansi atau organ negara, kemudian dengan amanat UU.

Amanat UU dan PP merujuk juga pada undang-undang mengenai kepegawaian negara. Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Apartur Sipil Negara (UU ASN) yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian serta perubahannya.

Dalam UU ASN, yang dimaksud dengan pegawai ASN itu adalah pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Maka, secara prinsipnya pegawai KPK itu adalah ASN. Mereka dapat gaji dari negara. Nah, sebenarnya filosofinya bahwa pegawai KPK itu seluruhnya adalah ASN.

Hamdan berpendapat bahwa pengalihan status dari pegawai KPK menjadi ASN sebenarnya peralihan secara administratif yang sifatnya outocatly (secara langsung).

Upaya Terakhir

Sebenarnya kalau dilihat dari filosofi itu, terdapat sejumlah alasan pegawai KPK diberhentikan, sebagaimana yang termaktub dalam PP. Pertama, batas usia pensiun bagi pegawai tetap (56 tahun); Kedua, batas usia pensiun bagi pegawai negeri yang dipekerjakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, pemberhentian karena sebab lain, yakni meninggal dunia, atas permintaan sendiri, pelanggaran disiplin dan kode etik, atau tuntutan organisasi. Nah, di sinilah diskursusnya. Tuntutan organisasi dalam rangka apa?

Inilah menurut Hamdan merupakan pintu masuk yang bisa debatable. Apakah TWK itu karena tuntutan organisasi yang dapat memberhentikan pegawai KPK? Di sisi lain, mereka yang sudah menjadi pegawai KPK sudah lolos tes profesionalitas, tes integritas, dan tes bertanggung jawab.

Apakah terkait dengan kelebihan pegawai dengan alasan, misalnya, fungsi KPK makin sedikit? Namun, pada kenyataannya fungsi KPK sekarang ini makin besar, kebutuhan makin besar. Jadi, tuntutan organisasi yang menjadi alasan dari sisi itu tidak masuk.

Terkait dengan TWK, Hamdan yang pernah sebagai anggota DPR RI periode 1999—2004 berpendapat bahwa wawasan kebangsaan yang lama dengan yang baru dari zaman proklamasi hingga zaman sekarang tidak berbeda. Jadi, kalau ada perbedaan, itu namanya politicking. Inilah persoalannya.

Bagi Hamdan, bukanlah persoalan hukum semata-mata, melainkan terkait dengan persoalan etika, persoalan budaya, persoalan konsistensi, persoalan keadilan. Pasalnya, kalau masuk ke ranah politik, keluar dari ranah etika dan norma budaya. Maka, dalam politik apa pun bisa terjadi.

Baca juga: KPK resmi lantik 18 pegawainya jadi ASN

Kendati demikian, 56 pegawai KPK yang akan diberhentikan per 30 September 2021, masih punya peluang menguji SK pemberhentian mereka ke PTUN. Apalagi, seluruh pegawai KPK adalah pegawai negara, bukan pegawai swasta.

Namun, Hamdan menyarankan bahwa mereka mengajukan keberatan kepada atasan pejabat tata usaha negara yang bersangkutan sebelum ke PTUN.

Menjawab siapa atasan dari pimpinan KPK? Dalam persoalan administrasi negara, kata Hamdan, tentu atasannya adalah Presiden. Akan tetapi, berkaitan dengan yudisial, KPK independen, Presiden bukan atasannya.

Copyright © ANTARA 2021