Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94/2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). PP sudah ditandatangani Jokowi pada 31 Agustus 2021 dan aturan itu mencantumkan sejumlah kewajiban dan larangan serta hukuman disiplin untuk para abdi negara.

Dalam bagian penjelasan PP itu dijelaskan, aturan ini bertujuan mewujudkan PNS yang berintegritas moral, profesional, dan akuntabel.

Penegakan disiplin dapat mendorong PNS untuk lebih produktif berdasarkan sistem karier dan sistem prestasi kerja serta berintegritas moral menjadi pertimbangan dalam pengembangan karier. Tegak lurus berkarier sebagai birokrat, tidak perlu bermain politik praktis.

Salah satu poin dalam PP tersebut mengenai pemberian hukuman disiplin berat bagi PNS yang tidak netral dalam ajang pemilihan umum. Mereka yang melanggar ketentuan itu bisa diberhentikan sebagai PNS.

Sebuah pertanyaan yang selalu muncul, mengapa PNS, terutama yang memiliki jabatan atau PNS yang belum memiliki jabatan tetapi sangat potensial untuk menduduki jabatan, sulit untuk netral ketika ada perhelatan pemilu, terutama pada Pilkada.

Netralitas PNS diperlukan
Mengapa netralitas PNS diperlukan, pada Pemilu, terutama pada Pilkada? PNS netral dalam Pilkada diperlukan karena posisi PNS sungguh sangat strategis dalam organ pemerintah daerah.

Sesuai ketentuan Pasal 12 UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara disebutkan bahwa Pegawai Aparatur Sipil Negara atau PNS berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintah dan membangun nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Karier PNS relatif lebih panjang dibanding jabatan kepala daerah yang lebih bersifat ad hoc, hanya lima sampai sepuluh tahun. Maka Pemda berperan penting dalam netralitas PNS karena memiliki kewenangan, mulai dari penyusunan program hingga pengalokasian anggaran untuk melaksanakan berbagai kegiatan, baik untuk Pilkada maupun kegiatan lainnya. Posisi sangat strategis maka diperlukan sebuah integritas yang tinggi.

Mengapa netralitas PNS sangat penting? Penting dan strategis, karena PNS sebagai aparatur birokrasi pemerintah yang netral akan memperkokoh perannya sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa.

Banyak pihak yang harus turut bertanggung jawab untuk mewujudkan netralitas PNS demi masa depan demokrasi yang lebih baik. Ironinya, ketidaknetralan PNS justru banyak diwarnai oleh kepala daerah itu sendiri ketika yang bersangkutan menjadi peserta Pilkada.

Tidak mudah
PNS sulit untuk menjaga netralitas, hal ini sangat dipengaruhi kepentingan pragmatis. Secara empiris, secara kasat mata, maka "musim Pilkada" bisa dianggap peluang bagi sementara PNS untuk mengubah nasib. Salah satu penyebabnya, eselon yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah PNS yang memenuhi syarat menduduki jabatan. Atau, sudah menduduki jabatan, namun dirasa ingin menduduki jabatan yang lebih strategis. Salah satu solusi yang sulit dihindari, ya mengadu nasib, dengan tidak netral.

Tidak ada istilah bertepuk sebelah tangan, bertepuk pasti dua tangan. Maksudnya, pada saat bersamaan, terutama petahana yang kembali ikut bertarung di Pilkada atau pecah kongsi antara kepala daerah dengan wakilnya, masing-masing bertarung merebut jabatan kepala daerah. Bahkan ada daerah yang tingkat kompetisi pertarungan merebut jabatan kepala daerah bertambah panas karena sekretaris daerah ditambah pimpinan dewan menjadi peserta Pilkada.

Pada posisi ini hampir sulit bicara netralitas PNS untuk tidak terlibat atau dilibatkan pada proses Pilkada. Pada posisi semacam ini, PNS bisa berdiri pada situasi terlibat, melibatkan diri atau dilibatkan pihak yang berkepentingan karena sama-sama membutuhkan.

Calon kepala daerah butuh suara atau dukungan dari PNS. Mengapa? Karena PNS dipandang mampu menarik gerbong suara yang memang diperlukan untuk mendongkrak suara. Selain itu PNS dianggap memiliki kelas atau status sosial terpandang terutama di pedesaan, dan sering menjadi panutan di lingkungannya.

Sepertinya tidak adil atau fair ketika hanya PNS yang dituntut netral sementara pihak lain dalam hal ini peserta Pilkada yang ternyata memiliki otoritas nasib dan jenjang karier tidak pernah disorot. Maka muncul PNS tidak netral karena pimpinan tertinggi sebagai petahana kembali mencalonkan ikut Pilkada.

Di sinilah sama-sama diuji. Kepala daerah yang semestinya menjaga agar PNS netral malah mengajak, menarik bahkan meminta dan “memaksa” untuk mendukung dalam Pilkada.

Pada saat yang sama, PNS yang semula memiliki integritas, bisa goyah karena pesaing mencari jabatan atau tertarik dengan jabatan yang lebih menjanjikan bertindak tidak netral. Serba sulit. Diam, tidak melakukan manuver, tidak kebagian “kue”.

Maka tidak mengherankan bahkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo, pada 23 Juni 2020 lalu, mengakui bahwa 70 persen PNS tidak netral dalam pilkada. Netralitas PNS dalam pilkada adalah harga mati yang harus ditegakkan. Namun tantangannya cukup berat. Apalagi ketidaknetralan PNS menguntungkan pemenang Pilkada.

Faktor penyebab
Ketua Umum Korps Pegawai Republik Indonesia, Zudan Arif Fakrulloh, menyebutkan ada dua faktor yang menyebabkan PNS menjadi tidak netral dalam Pilkada, yaitu faktor eksternal dan internal.

Ia mengatakan, faktor eksternal berkaitan dengan sistem politik yang memungkinkan petahana maju kembali dalam pilkada. "Kalau petahana gubernur/bupati dan wakilnya maju satu paket tidak ada pergolakan bagi PNS. Apalagi kalau menang. PNS-nya nyaman. Tetapi jika wakilnya maju, gubernur/bupati petahana maju, birokrasi bisa terbelah," katanya dikutip dalam keterangan persnya, Jumat (20/11/2020).

Sementara untuk faktor internal yang membuat PNS tak netral juga cukup banyak. Ia menegaskan bahwa setiap PNS harus tetap profesional. "Misalnya, calon kepala daerah sangat akrab dengan sekda. Anak buah sekda tidak enak kalau tidak mendukung. Ini mendukung karena kedekatan, karena utang budi. Ini faktor internal yang harus bisa kita antisipasi agar tidak terjebak dalam sikap tidak netral," ujarnya.

Masih banyak faktor penyebab, PNS tidak netral. Di antaranya karena tekanan struktural, kekhawatiran mutasi jabatan atau mandeknya karir, tukar jasa, hubungan kekerabatan, kepentingan paragmatis, dan kultur feodal. Ada balas budi tapi juga bisa menjadi balas dendam setelah usai Pilkada.

Meski demikian, netralitas PNS harus terus terus diupayakan karena, sekali lagi, PNS sebagai aparatur birokrasi pemerintah yang netral akan memperkokoh perannya sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa.


*) Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, pengamat kebijakan publik, fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Semarang dan pengajar tidak tetap STIE Semarang serta STIE BPD Jawa Tengah

Copyright © ANTARA 2021