Pers itu mendorong supremasi hukum, demokrasi, dan kebhinnekaan, serta memenuhi hak masyarakat, tapi masyarakat tetap dapat mengontrol pers melalui Dewan Pers. Kalau pers ada kekurangan, adukan ke Dewan Pers
Badung (ANTARA) - Plt Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi dan Aparatur Kemenko Polhukam, Marsma TNI Oka Prawira, mengharapkan jajaran pemerintah yang memiliki sengketa dengan pers hendaknya menyelesaikan delik pers yang terjadi dengan mengadukan ke Dewan Pers.

"Pers itu mendorong supremasi hukum, demokrasi, dan kebhinnekaan, serta memenuhi hak masyarakat, tapi masyarakat tetap dapat mengontrol pers melalui Dewan Pers. Kalau pers ada kekurangan, adukan ke Dewan Pers," katanya di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Rabu.

Saat membuka Forum Komunikasi Media Massa bertema "Peningkatan Pemahaman tentang Delik Pers bagi ASN dan Wartawan" yang diadakan Kemenko Polhukam bersama Dewan Pers di Bali secara luring-daring itu, ia menegaskan bahwa forum komunikasi ini mendorong kolaborasi pemerintah dan pers.

Baca juga: Media yang kredibel ciptakan ekosistem digital yang sehat

"Kemenko Polhukam dan Dewan Pers akan mendorong terus kolaborasi pemerintah dan pers, sehingga tidak ada sengketa antara ASN dengan pers, tapi semuanya dikembalikan pada UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yakni melalui Dewan Pers," katanya.

Dalam forum yang dihadiri jajaran Kominfo se-Bali, kalangan pers, asosiasi media, dan Humas TNI-Polri itu, narasumber yang hadir adalah Agus Sudibyo (Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional, Dewan Pers), Agung Dharmajaya (Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan, Dewan Pers), dan Wayan Suyadnya (pemimpin Media Bali).

Senada dengan itu, Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, mengatakan jajaran Humas/Kominfo sering mengeluhkan pemberitaan yang negatif, padahal berita negatif itu belum tentu salah sebagai kritik, asalkan memenuhi kode etik yakni imbang, tidak menghakimi, akurat, bukan ranah privasi, dan tidak memeras.

"UU Pers juga mengatur bila pers melakukan kesalahan atau melanggar kode etik di atas, maka gunakan hak jawab (korban) yang ditembuskan ke Dewan Pers, jangan takut dengan wartawan kalau memang benar, tapi jangan bertindak gegabah dengan melakukan kekerasan, karena kebenaran bisa samar/kabur. Jadi, tulisan ditutup dengan tulisan," katanya.

Selain itu, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional di Dewan Pers itu menyarankan jajaran Humas/Kominfo untuk membedakan produk jurnalistik dengan perilaku jurnalis. "Kalau kesalahan tulisan ya ke Dewan Pers, tapi kalau jurnalis memeras ya pidana," katanya.

Ia menambahkan Dewan Pers akan melakukan sidang sengketa pers dalam 1-2 minggu untuk menjatuhkan sanksi yakni hak jawab, hak jawab dan permintaan maaf, atau hak jawab diabaikan/ditolak memungkinkan ada proses hukum/pidana.

Baca juga: Dewan Pers: Kebebasan pers hadapi disrupsi media sosial

Hal itu juga dibenarkan Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan di Dewan Pers, Agung Dharmajaya. "Kalau ASN tidak nyaman dengan pers jangan ke Polri, karena ada UU Pers dan MoU Polri-Kominfo-Kejakgung bahwa soal pemberitaan itu selesaikan ke Dewan Pers," katanya.

Soal media online dan media sosial yang sering berdalih dengan "running news" sehingga konfirmasi terhadap suatu hal akan dilakukan menyusul, ia menilai bila terkait kasus itu harus ada konfirmasi dalam satu berita dengan kasusnya.

Dalam kesempatan itu, pemimpin Media Bali, Wayan Suyadnya, mengatakan tokoh masyarakat bermasalah dengan pers seringkali tidak menggunakan hak jawab tapi langsung menuntut permintaan maaf. "Kalau seperti itu ya media itu kalah, jadi seharusnya hak jawab itu," katanya.

Baca juga: TNI laporkan media daring ke Dewan Pers terkait berita Papua

Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021