Jakarta (ANTARA) - Pengamat Kebijakan Publik Dr Trubus Rahardiansyah mengatakan Indonesia adalah negara demokrasi sehingga urusan kritik mengkritik adalah hal yang biasa, tapi sebaiknya mengedepankan etika dan kesantunan demi demokrasi yang baik.

"Kritik itu harus menegakkan solusi, bahasa kerennya itu kritik yang solutif, jangan mengkritik hanya karena kepentingan-kepentingan saja. Pada dasarnya semua kritik itu diperbolehkan tapi kritik itu didasarkan pada data untuk memberikan suatu rekomendasi atau masukan," ujar Trubus dalam keterangan tertulis-nya yang diterima di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk. Ada tiga upaya bagaimana membangun demokrasi dalam konteks mengkritik, tetapi tetap dengan mengedepankan etika kesantunan publik. Pertama melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa kritik-kritik itu harus menempatkan pada persoalan aspek-aspek membangun kebersamaan, toleransi, mendekati empowerment atau memberdayakan masyarakat.

"Tapi kondisinya masyarakat kita ada yang minim literasi karena memang pendidikannya kurang, dan masyarakat yang memiliki literasi yang baik. Nah ini bagaimana disinergikan, jadi memberdayakan mereka supaya saling bersinergi," ungkapnya.

Kedua, kata Trubus, kririk itu harus ditempatkan atau jangan sampai berisi ujaran kebencian atau hate speech, juga jangan mengarah kepada personel atau menyebut nama seseorang entah itu presiden atau siapa, karena itu ujungnya nanti menjadi penghinaan dan pencemaran nama baik. Jadi kritik itu harus menekankan kepada perbaikan-perbaikan.

Baca juga: Sahroni: Kritik harus disampaikan secara santun

Baca juga: Sampaikan kritik dengan santun, kata Yudhoyono


"Ketiga, kritik itu harus menegakkan solusi yang mana bahasa keren-nya itu kritik yang solutif, Jadi kritik solutif itu kritik yang memberikan jalan keluar terhadap persoalan-persoalan yang ada," tukasnya.

Ia mengakui kelemahan selama ini para pengkritik itu, baik di kembangkan oleh buzzer-buzzer atau pun yang dilakukan oleh sebagian akademisi, para LSM itu lebih menempatkan kepada persoalan-persoalan yang menurutnya tidak solutif.

"Mengapa? Karena lebih kepentingan-kepentingan saja. Karena apa ? Ketika mereka diminta untuk menjelaskan secara rinci atau pun mendeskripsikan persoalan yang disampaikan, kebanyakan mereka itu tidak menguasai dan tidak memiliki data," kata Trubus.

Selain itu, dosen Tetap di Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu juga menyampaikan agar kritik tidak hanya solusi tetapi juga memberikan-masukan yang bisa dipakai untuk merumuskan suatu policy atau kebijakan yang sifatnya proporsional, berkeadilan dan kepastian hukum. Karena itu menurutnya, perlu suatu edukasi kepada mereka-mereka yang suka memberikan kritikan terutama kelompok oposisi.

"Karena sifat budaya kita yang patron-klien, maka patron-nya atau tokohnya dulu yang harus dibenahi. Jadi nanti publik-nya atau kliennya atau pendukungnya otomatis akan terbawa atau terbenahi pada situasi track record yang menjunjung namanya perbedaan atau toleransi," ujar Trubus menjelaskan.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021