London (ANTARA) - Negara-negara demokrasi kaya yang tergabung dalam Kelompok Tujuh akan mencoba menunjukkan kepada dunia pada pertemuan puncak minggu ini bahwa Barat masih dapat bertindak bersama untuk mengatasi krisis besar dengan menyumbangkan ratusan juta vaksin COVID-19 ke negara miskin dan berjanji untuk memperlambat perubahan iklim.

Presiden AS Joe Biden, dalam perjalanan luar negeri pertamanya sejak memenangi kekuasaan, akan mencoba menggunakan pertemuan puncak di desa tepi laut Inggris, Carbis Bay, untuk meningkatkan kepercayaan multilateralnya setelah kekacauan kepresidenan Donald Trump.

Baik tentang COVID-19 atau perubahan iklim, para pemimpin Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat ingin menggambarkan bahwa Barat dapat bersaing dengan kekuatan China dan ketegasan Rusia.

"Ini adalah pertanyaan yang menentukan di zaman kita: Bisakah negara-negara demokrasi bersatu untuk memberikan hasil nyata bagi rakyat kita di dunia yang berubah dengan cepat?" Biden, 78, bertanya dalam opini 5 Juni di The Washington Post.

"Akankah aliansi dan institusi demokratis yang telah membentuk begitu banyak abad terakhir membuktikan kapasitas mereka melawan ancaman dan musuh zaman modern? Saya yakin jawabannya adalah ya."

Pada akhir pekan, para menteri keuangan G7 menyetujui kesepakatan tentang tarif minimum pajak perusahaan, yang menurut Menteri Keuangan AS Janet Yellen mencerminkan keinginan untuk bekerja sama.

"Ini menunjukkan bahwa kolaborasi multilateral bisa berhasil," katanya.

Biden bertemu Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, ketua KTT, pada Kamis, sehari sebelum dimulainya pertemuan tiga hari para pemimpin. Pada Minggu, Biden akan menjadi Presiden AS ke-13 untuk bertemu Ratu Elizabeth II, 95, yang akan menerimanya di Kastil Windsor.

Dia kemudian melakukan perjalanan ke Brussels untuk KTT NATO dan KTT Uni Eropa sebelum dia bertemu dengan Vladimir Putin di Jenewa pada 16 Juni.

G7 didirikan pada tahun 1975 sebagai forum bagi negara-negara terkaya untuk membahas krisis seperti embargo minyak OPEC. Negara-negaranya memiliki PDB tahunan gabungan sebesar $40 triliun (Rp600 kuadriliun) , atau hampir setengah dari ekonomi global.

Namun, Barat merasa tidak aman. Virus corona melanda Amerika Serikat dan Eropa dan perubahan iklim telah menantang asumsi banyak model ekonominya. Mereka menghadapi Kremlin yang garang di Moskow dan kemunculan kembali China yang spektakuler sebagai kekuatan besar.

KTT G7 di Carbis Bay, 300 mil sebelah barat London, akan menjadi yang pertama bagi Biden, Mario Draghi dari Italia dan Yoshihide Suga dari Jepang, dan G7 pasca-Brexit pertama untuk Johnson.

Ini akan menjadi G7 terakhir Angela Merkel sebelum dia mundur sebagai Kanselir Jerman setelah pemilihan pada bulan September, dan yang terakhir Emmanuel Macron sebelum pemilihan 2022 di Prancis. Para pemimpin Australia, India, Korea Selatan dan Afrika Selatan diundang, meskipun Perdana Menteri India Narendra Modi harus melewatkan pertemuan itu karena situasi COVID-19 di dalam negeri.

Di balik pernyataan publik, para diplomat mengatakan, para pemimpin G7 akan berbicara tentang bagaimana menghadapi China dan Rusia, bagaimana memenangkan kembali triliunan dolar kekayaan yang terhapus oleh COVID-19 dan bagaimana memastikan perdagangan bebas di dunia yang condong ke China.

China, ekonomi terbesar kedua di dunia, tidak pernah menjadi anggota G7. Rusia, yang diakui sebagai anggota G8 enam tahun setelah jatuhnya Uni Soviet, diskors pada 2014 setelah mencaplok semenanjung Krimea dari Ukraina.

Moskow dan Beijing telah meminta G7 untuk berhenti mencampuri urusan mereka.

Setelah banyak negara kaya menimbun vaksin COVID-19, Johnson ingin G7 menyumbangkan ratusan juta dosis ke negara-negara miskin, banyak di antaranya jauh di belakang Barat dalam memvaksin populasi mereka.

"Vaksinasi dunia pada akhir tahun depan akan menjadi pencapaian terbesar dalam sejarah medis," kata Johnson.

Di luar keamanan yang akan mengekang para pemimpin dunia, ribuan pengunjuk rasa akan mencoba mengganggu KTT itu karena kekhawatiran mulai dari perubahan iklim hingga rancangan undang-undang yang akan memberi polisi Inggris lebih banyak kekuatan untuk mengekang demonstrasi.

"Hak kami tidak dimenangkan melalui protes sopan yang tenang. Hak kami dimenangi melalui keributan dan mengganggu," kata kelompok Kill The Bill - salah satu dari sekitar 20 organisasi aktivis yang bergabung dengan 'Koalisi Lawan G7'.

Sumber: Reuters
Baca juga: Seratus mantan pemimpin desak G7 untuk bayar vaksinasi COVID global
Baca juga: Facebook dan Amazon kena aturan pajak G7
Baca juga: PM Inggris minta G7 memvaksin dunia pada akhir 2022

Penerjemah: Mulyo Sunyoto
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021