Jakarta (ANTARA) - Mangrove atau bakau bukanlah sekedar tanaman yang tumbuh di air payau, tanaman itu memiliki peran penting dalam ekosistem pantai sebagai penyokong habitat berbagai jenis satwa dan sabuk hijau yang melindungi garis pantai dari abrasi.

Tidak hanya itu, vegetasi laut tersebut juga mampu menyerap dan menyimpan karbon dan merupakan salah satu jenis hutan terkaya karbon di kawasan tropis, mengandung sekitar 1.023 mg karbon per hektare (ha).

Melihat peran penting tersebut, tidak heran bila rehabilitasi vegetasinya menjadi perhatian bagi Indonesia dan Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menambah mandat Badan Restorasi Gambut untuk melakukan rehabilitasi mangrove.

Berganti nama menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), lembaga itu ditargetkan untuk melakukan percepatan rehabilitasi bakau di lahan seluas 600.000 ha yang berada di sembilan provinsi.

Untuk itu, BRGM mendapat penambahan pagu sebesar Rp1,5 triliun untuk pelaksanaan rehabilitasi mangrove dengan Rp1,4 triliun di antaranya dianggarkan untuk penanaman mangrove.

Besarnya anggaran tersebut menunjukkan betapa pentingnya upaya restorasi dan rehabilitasi mangrove yang sudah terdegradasi termasuk yang berada di kota metropolitan seperti Jakarta, yang tidak masuk dalam provinsi target BRGM.

Adalah Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke di Jakarta Utara sebagai salah satu benteng mangrove yang berada di himpitan pemukiman padat baik yang legal maupun rumah liar.

Kawasan yang berada di bawah otoritas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta itu telah ditutup sejak 2017 untuk perbaikan sarana dan kini proses restorasi kawasan itu juga tengah berjalan.

Pengendali ekosistem hutan BKSDA DKI Jakarta, Nani Rahayu, mengatakan bahwa proses restorasi kawasan itu dimulai dengan perbaikan hidrologi. Hal itu disebabkan kondisi air yang berada di kawasan bakau suaka itu lebih didominasi oleh air tawar dari sungai dibandingkan air asin dari laut.

Padahal bakau di tempat itu membutuhkan kondisi payau dengan kandungan garam yang seimbang.

"Kita akan merevitalisasi inlet air yang dari laut supaya lancar lagi, karena sekarang tertutup oleh sedimen dan pohon nipah," kata Nani.

Salah satu langkah yang dilakukan untuk merevitalisasi itu adalah dengan pengerukan untuk memperdalam sungai, yang kini kedalamannya tersisa 1,5 meter karena sedimentasi. Selain itu akan dilakukan modifikasi mulut sungai demi mengatasi sampah yang tertambat setelah terbawa dari Kali Angke.

Hal itu dilakukan untuk memastikan kawasan yang menjadi rumah bagi puluhan spesies itu, termasuk spesies dilindungi seperti bubut Jawa (Centropus nigrorufus) dan bangau bluwok (Mycteria cinerea), agar tetap asri dan lestari.

Peneliti mangrove Topik Hidayat dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), yang menjadi mitra BKSDA DKI Jakarta dalam merestorasi kawasan itu, menegaskan pentingnya merestorasi mangrove yang sudah terdegradasi di daerah tersebut.

Selain komposisi air, Topik juga menyoroti adanya tanaman invasif yang mengganggu ekosistem asli kawasan itu seperti adanya eceng gondok.

Restorasi hidrologi dan pengurangan tanaman invasif itu akan dilakukan secara bersamaan.

"Itu berbarengan dilakukan jadi perbaikan hidrologi untuk meningkatkan air laut dan kita di dalamnya membersihkan tanaman invasif," ujar Topik.

Baca juga: YKAN dan BKSDA Jakarta kolaborasi rehabilitasi mangrove SM Muara Anke

Baca juga: BRGM: Penanaman rehabilitasi bakau terkonsentrasi akhir tahun
Kondisi di sekitar kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke di Jakarta Utara, Kamis (3/6/2021) (ANTARA/Prisca Triferna)


Tantangan restorasi

Menjadi suaka margasatwa di tengah himpitan perkembangan urban tidaklah mudah. Hal itu juga terjadi di Muara Angke, yang merupakan suaka margasatwa terkecil di Indonesia dengan luas 25,02 ha.

Berbagai isu harus dihadapi kawasan yang telah menjadi area konservasi sejak 18 Juni 1939 itu seperti adanya persoalan sampah yang terbawa oleh Kali Angke menuju ke muara Teluk Jakarta.

Sampah, dari yang berukuran kecil seperti plastik dan styrofoam sampai dengan ukuran besar seperti kapal rusak berada di pinggir kawasan itu, dengan burung terbang di atasnya dan monyet ekor panjang mengais sampah-sampah mencari makan.

Sedimentasi juga menjadi salah satu tantangan yang dihadapi kawasan tersebut. Kedalaman muara itu kini berada di sekitar 1,5 meter.

Berkurangnya kedalaman itu juga membuat kawasan itu terkadang mengalami banjir, yang bahkan pernah menggenangi kantor Resort Suaka Margasatwa Muara Angke dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk yang berada di sana.

Kedekatannya dengan pemukiman juga menimbulkan masalah lain, dengan monyet ekor panjang (Macaca fasicularis) kini mulai mencari makanan di luar kawasan meski pangan untuk mereka di dalam area tersebut masih berlimpah.

Sosialisasi terus dilakukan BKSDA DKIJakarta kepada masyarakat sekitar untuk tidak memberikan makanan kepada hewan yang masuk daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) sebagai kategori rentan itu.

Padahal kawasan itu memiliki peran penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Menurut perkiraan YKAN, kemampuan menyimpan karbon dari ekosistem mangrove di kawasan itu adalah 932,52 ton CO2 per ha atau setara dengan kemampuan menyerap 3.422,35 ton CO2 per ha.

Melihat berbagai fakta tersebut, sungguh semangat restorasi itu perlu terus digulirkan untuk memastikan kembali lestarinya alam di lokasi itu, sesuai dengan semangat Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2021 yang mengambil tema "Restorasi Ekosistem".

Berbagai langkah memang terus dilakukan untuk menjaga kelestarian kawasan, seperti ditegaskan Kepala Resort Suaka Margasatwa Muara Angke dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk Sukarman.

Terkait kawasan mangrove penanaman terus dilakukan terutama di daerah Taman Wisata Alam Angke Kapuk, yang pengelolaannya dikerjasamakan dengan pihak ketiga untuk ekowisata.

Selain itu pihaknya juga bekerja sama dengan berbagai pihak seperti YKAN lewat Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) untuk melakukan restorasi bakau dari kondisinya yang terdegradasi karena berbagai faktor.

Intervensi untuk meningkatkan pasokan air asin itu, kata Sukarman, merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan untuk memastikan air payau di dalam kawasan berada dalam kondisi yang baik demi kelestarian bakaunya.

Terkait perlindungan dan konservasi fauna, Sukarman memastikan sosialisasi terus dilakukan kepada masyarakat akan keberadaan spesies-spesies penting dalam kawasan itu, baik dengan masyarakat sekitar maupun ke berbagai sekolah.

Setiap hari juga staf resort terus melakukan pengumpulan sampah yang terbawa dari hulu.

Semua itu dilakukan untuk memastikan kelestarian Suaka Margasatwa Muara Angke, salah satu pelindung terakhir ekosistem mangrove Jakarta.*

Baca juga: BRGM akan mereboisasi 6.000 hektare hutan bakau di Kalimantan Barat

Baca juga: KKP rehabilitasi 20 hektare lahan mangrove di Aceh Jaya



 

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021