Di masyarakat Jawa muncul sejumlah "parikan" bersumber ketupat, antara lain "Kupat janur tuwa" yang artinya "Sedaya lepat nyuwun ngapura" (Ketupat berjanur tua, segala salah mohon dimaafkan)
Magelang, Jateng (ANTARA) - Tanpa ketupat, perayaan Lebaran (Idul Fitri) serasa belum afdal. Oleh karenanya, meja makan rumah setiap warga selalu dilengkapi menu makanan berbahan beras dalam bungkusan anyaman janur yang pematangannya melalui dikukus atau direbus tersebut.

Baik untuk disantap anggota keluarga maupun suguhan para tamu berlebaran dan halalbihalal, ketupatlah hidangan khasnya. Demikian pula, kebiasaan saling berkirim menu makanan itu antarwarga, kepada tetangga atau handaitolan, ketupatlah menjadi pokok. Ketupat Lebaran umumnya disantap dengan kuah santan, opor, atau gulai.

Pada Idul Fitri 1442 Hijriah, yang merupakan tahun kedua pandemi COVID-19 dengan keharusan penegakan protokol kesehatan ini, setiap orang antara lain diminta mengurangi kerumunan, taat menjaga jarak, menahan diri dari mudik, dan memperkuat silaturahim dan halalbihalal secara virtual.

Kesadaran yang mumpuni atas situasi pandemi dan dampaknya jika prokes diabaikan, tak mengurangi makna khidmat halalbilalal. Bisa jadi, kesadaran seperti itu malah menjadikan orang beroleh pemantik untuk meraih pengalaman berlebaran tak sebagaimana biasa, kalau tidak pandemi.

Medium ketupat dijadikan para pegiat, tokoh, dan seniman petani Komunitas Lima Gunung melalui salah satu grup percakapan di media sosialnya, untuk berhalalhilalal saat Lebaran tahun ini.

Lima gunung yang dimaksud meliputi mereka yang tinggal di dusun-dusun di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Namun, mereka yang bergiat dalam komunitas, termasuk tergabung di grup medsos itu, ada juga yang tinggal di Yogyakarta, Jakarta, Kota Magelang, Purworejo, Pati, dan beberapa daerah lainnya.

Pada Hari Lebaran, grup medsos mereka seakan diubah menjadi meja makan untuk menyajikan kiriman ketupat dari dusun-dusun di masing-masing gunung. Para anggota komunitas mengirimkan foto ketupat dari rumahnya ke meja makan maya itu, untuk dinikmati bareng-bareng makna simboliknya di hari fitri kali ini.

Bahkan, kiriman foto ketupat ke grup itu dari Handoko, seorang seniman komunitas tersebut dari kawasan Gunung Merbabu, karena dianggap telat, memantik guyonan di antara mereka.

"Kupat dari Ndoko (Handoko, red.) dikirim lewat 'go send' (layanan ojek daring, red.)," kata budayawan yang juga pendiri komunitas, Sutanto Mendut. Seorang anggota grup menimpali, "'Go send'-nya pakai jaran kepang".

Halalbihalal sebagai waktu penting dijalani setiap insan Muslim setelah mencapai kesucian kembali hidup spiritualitasnya melalui jalan tirakat, berpuasa Ramadhan. Mereka yang telah berkhidmat sebulan penuh dengan berpuasa, meraih lega saat menyentuh Idul Fitri karena menang dari godaan hawa nafsu.

Kemenangan batiniah-personal makin lengkap dan menggetarkan lubuk kalbu dengan ketulusan bermaaf-maafan antarinsan, dengan anggota keluarga, anak-orang tua, suami-istri, adik-kakak, teman sepermainan, tetangga, handai tolan, antarkalangan sekerja, pejabat-rakyat, pengusaha-karyawan, elite-kader, pengurus-anggota organisasi, juga dengan pacar, dan mantan pacar.

Lebaran umat manusia fitri secara vertikal dan horizontal menjadikan kehidupan muka bumi bernuansa semringah, udara terhirup sejuk, sentuhan bayu terasa segar, banyu pun terpandang jernih, dan sinar cahaya jadi benderang.

Secara materiil, ketupat sebatas menu makanan dari beras berbungkus anyaman janur. Pada lidah orang Jawa penyebutannya familier sebagai kupat.

Dalam ilmu hitung ada istilah belah ketupat, untuk bentuk segi empat yang mirip dengan kemasan makanan yang relatif awet selama beberapa hari itu. Pihak kepolisian setiap tahun menggelar kegiatan pengamanan, ketertiban, dan kelancaran kegiatan masyarakat selama Idul Fitri dalam nama yang membumi sebagai Operasi Ketupat.

Kaitan dengan Lebaran, di masyarakat Jawa muncul sejumlah "parikan" bersumber ketupat, antara lain "Kupat janur tuwa" yang artinya "Sedaya lepat nyuwun ngapura" (Ketupat berjanur tua, segala salah mohon dimaafkan) dan "Kupat kecemplung santen" artinya "Menawi lepat nyuwun ngapunten" (Ketupat tercemplung di santan, apabila ada salah minta maaf), atau keratabasa kupat sebagai "ngaku lepat" (mengaku salah).

Parikan merupakan salah satu jenis puisi Jawa modern yang serupa dengan pantun Melayu.
 
Seorang warga membeli kelongsong ketupat di depan Pasar Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Jateng, Selasa (11/5/2021). (FOTO ANTARA/Hari Atmoko)


Sunan Kalijaga 

Identitas ketupat yang lekat dalam tradisi halalbihalal saat Lebaran, konon terkait dengan penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga kepada masyarakat pada masa Kerajaan Demak dan pengaruhnya hingga era Mataram, dan sampai sekarang. Berbagai referensi menyebut demikian, sebagaimana diungkap budayawan dan dalang di Kota Magelang Susilo Anggoro.

Demikian pula tentang janur sebagai anyaman eksotis pembungkus ketupat yang berkembang menjadi simbol tentang jalinan relasi erat dan harmonis antarmanusia, melambangkan kehidupan bersama yang rumit namun menghadirkan elok.

"Saat Lebaran pasti ada suguhan kupat, itu filosofi 'ngaku lepat', saling maaf-memaafkan, lalu menyantap kupat, sehingga saat Idul Fitri warga memasak kupat," kata Sus, yang juga pengelola Sasana Pamardi Budaya Kampung Meteseh, Kota Magelang itu.

Namun, penggunaan ketupat diperkirakan telah ada sebelum masa itu, sebagaimana dituturkan dia dalam kisah pewayangan tentang kelahiran Dewi Shinta dan Dewi Sri bertepatan dengan Wuku Sinta sehingga melahirkan narasi ketupat sinta.

Hingga saat ini, ketupat juga digunakan masyarakat desa di kawasan lima gunung di Kabupaten Magelang untuk melengkapi sesaji saat melakukan berbagai tradisi tahunan, sesuai dengan kalender desa.

Kuliner kupat tahu juga telah menjadi kekhasan Magelang dengan warung penjualnya bertebaran di berbagai tempat, baik di wilayah kota maupun kabupaten. Salah satu warung kupat tahu yang kondang, yakni Tahu Pojok, di dekat Alun-Alun Kota Magelang.

Tradisi kultural

Terutama bagi masyarakat Jawa, ujar seorang pengasuh Pondok Pesantren Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang Kholilul Rohman Ahmad (Gus Kholil), ketupat Lebaran telah menjadi tradisi kultural yang kuat di Indonesia.

Menu ketupat menjadi simbol permohonan maaf atas kesalahan antarwarga, sedangkan dalam suasana Lebaran, menjadikan setiap insan beroleh relasi selaras, "hablum minallah" (hubungan manusia dengan Tuhan) dan "hablum minannas" (hubungan antarmanusia).

"Secara simbolik  ketupat punya makna bersyukur dan kepasrahan kepada Sang Pencipta setelah sebulan berpuasa," kata Ketua Lembaga Kajian Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama (NU) Payaman dan salah seorang pegiat Komunitas Lima Gunung itu.

Saat perayaan Lebaran, warga saling berkirim ketupat dan menyantap ketupat, yang artinya berhalalbilalal, saling bermaaf-maafan.

Melalui kanal Youtube Kementerian Agama, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas  selain mengajak umat Islam beribadah dan berlebaran dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, pada Hari Lebaran ini juga menyampaikan permohonan maaf lahir dan batin.

"Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai pemenang. Mohon maaf lahir dan batin," ucapnya. Melalui sidang isbat diselenggarakan Kemenag pada Selasa (11/5) memutuskan bahwa Idul Fitri 1 Syawal 1442 Hijriah jatuh pada Kamis (13/5).

Dalam situasi pandemi, pemerintah mendorong masyarakat bersilaturahim dan berhalalbihalal secara virtual, tanpa mengurangi makna batiniah Lebaran.

Bersama operator seluler, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memastikan jaringan telekomunikasi yang berkualitas di berbagai daerah untuk dimanfaatkan warga berlebaran.

"Kami menyiapkan 'bandwidth' yang cukup, kami juga menjaga agar komunikasi, ekspresi rasa, dan suka cita dapat dilakukan di dalam ruang digital yang lebih baik di tahun ini," kata Menteri Kominfo Johnny G. Plate.

Secara komunal, Komunitas Lima Gunung pun memanfaatkan sarana telekomunikasi tersebut untuk berhalalbihalal dengan caranya yang mungkin nampak sederhana namun simbolik itu. Berkirim foto-foto ketupat dari rumah masing-masing ke grup medsosnya.

"Kami ini bertahun-tahun kumpul, menjadi 'awak e dhewe' (saudara atau keluarga, sendiri, red.). Kedekatan ini pula menjadikan kami saling terpanggil prioritas berhalalhibalal. Grup medsos kami medianya, kupat jugalah simbol komunikasi antarhati," ujar Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto.

Sekiranya para tokoh, pegiat, dan seniman komunitas tersebut saling berkirim foto ketupat ke satu meja makan maya, ihwal itu terasa menjadi wujud praktik kecil atas anjuran pemerintah kepada masyarakat dalam berlebaran di tengah pandemi.

Mereka memanfaatkan secara sehat kemajuan teknologi komunikasi untuk mensyukuri ketulusan spirit halalbihalal di tengah pandemi.

Sedemikian kuatnya tradisi halalbihalal melalui simbol ketupat Lebaran, sedemikian itulah kedekatan interelasi hati manusia merayakan Idul Fitri.

Baca juga: Tradisi "Gerebeg Kupat" warga Dawung, Magelang

Baca juga: Pengrajin ketupat kebanjiran pesanan jelang Idul Fitri

Baca juga: Ada 'sedekah ketupat' di Magelang


Baca juga: Perajin bungkus ketupat banjiri Pasar Mardika

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021