Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR, Bambang Soesatyo, menjelaskan untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) diperlukan amandemen terbatas UUD NRI 1945.

Ia mengatakan akan ada penambahan ayat di pasal 3 dan pasal 23 UUD NRI 1945 dalam amandemen terbatas UUD NRI 1945.

"Penambahan satu ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Sementara penambahan satu ayat pada pasal 23 mengatur kewenangan DPR menolak RUU APBN yang diajukan presiden pasca 2024 apabila tidak sesuai PPHN," kata dia, dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Hal itu dia katakan dalam diskusi akademik "Urgensi Amandemen Terbatas Pokok-Pokok Haluan Negara untuk Kesinambungan Pembangunan" di Universitas Ngurah Rai, Bali, Senin.

Baca juga: MPR : Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa bersandar pada anggaran

Ia menjelaskan selain penambahan ayat di pasal 3 dan pasal 23 UUD NRI 1945, tidak ada penambahan lain dalam amandemen kelima UUD NRI 1945, termasuk, wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode ataupun perubahan sistem presidensial.

"Justru kita perkuat, dari visi-misi presiden menjadi visi-misi negara melalui PPHN," ujarnya.

Dia menjelaskan pasca-amandemen keempat konstitusi, fungsi Garis Besar Haluan Negara digantikan dengan UU Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.

Baca juga: MPR apresiasi langkah cepat TNI-Polri tumpas teroris di Papua

Sementara itu menurut dia, penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional berlandaskan visi dan misi calon presiden dan wakil presiden terpilih.

"Hal ini justru tidak memberikan jaminan bahwa satu periode pemerintahan akan melanjutkan program pembangunan yang sudah dilakukan pemerintahan periode sebelumnya," katanya.

Ia memberi gambaran, kebijakan pemindahan ibu kota negara yang pembangunannya dimulai pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan membutuhkan waktu tidak sebentar dan tidak memiliki jaminan pembangunannya akan dilanjutkan oleh presiden penggantinya.

Baca juga: Ketua MPR RI minta Pemerintah evaluasi menyeluruh kondisi alutsista

Menurut dia, ketiadaan PPHN juga menyebabkan ketidakselarasan pembangunan nasional dengan daerah karena sistem perencanaan pembangunan jangka menengah daerah tidak terikat untuk mengacu RPJMN.

"Hal itu mengingat visi dan misi gubernur/bupati/walikota sangat mungkin berbeda dengan visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih. Demikian juga dengan visi dan misi gubernur/bupati/walikota diantara berbagai daerah lainnya," ujarnya.

Baca juga: Ketua MPR ingatkan tiga tantangan bangsa

Bamsoet menilai, secara ideologis, keberadaan PPHN dipandang mendasar dan mendesak, karena tidak saja proses pembangunan nasional memerlukan panduan arah dan strategi baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang.

Namun, menurut dia, juga yang lebih mendasar adalah untuk memastikan proses pembangunan nasional itu manifestasi dan implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa, yaitu Pancasila.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021