Hal ini kontradiktif dengan pertimbangan bahwa KPK adalah lembaga khusus yang menangani tindak pidana yang bersifat 'extra ordinary crime'.
Yogyakarta (ANTARA) - Tim pemohon uji materi Undang-Undang (UU) KPK dari Universitas Islam Indonesia (UII) menyatakan kewenangan KPK dalam menghentikan penyidikan (SP3) perkara tindak pidana korupsi seharusnya syaratnya lebih berat.

"Mestinya dengan kewenangan yang besar untuk menangani kasus extra ordinary crime persyaratan penggunaan kewenangan SP3 harus lebih berat daripada penyidik di luar KPK," kata juru bicara tim pemohon uji materi UU KPK dari UII Eko Riyadi saat konferensi pers di Kampus UII, Yogyakarta, Rabu.

Hal itu disampaikan merespons putusan MK yang mengabulkan sebagian dari gugatan uji materi terhadap UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam perkara nomor 70/PUU-XVII/2019, salah satunya terkait dengan pemberian SP3 oleh KPK.

Dalam putusan terkait uji materi yang diajukan akademisi dari UII, MK justru memberi kewenangan KPK mengeluarkan SP3 cukup dengan sudah terlewatinya waktu 2 tahun sejak dikeluarkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).

Baca juga: Dewas KPK tidak akan anulir SP3 Sjamsul Nursalim

Eko mengatakan bahwa putusan itu menyebabkan model SP3 di KPK lebih sederhana dan ringan ketimbang penggunaan kewenangan SP3 pada lembaga penegak hukum lain.

"Hal ini kontradiktif dengan pertimbangan bahwa KPK adalah lembaga khusus yang menangani tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime," ujarnya.

Selain itu, putusan tersebut juga bertentangan dengan ketentuan yang tercantum di dalam KUHAP.

Sesuai dengan KUHAP, kata dia, penghentian penyidikan sejatinya baru dapat dilakukan dengan alasan yang limitatif, yakni perbuatannya digolongkan bukan merupakan perbuatan pidana, tidak cukup bukti, dan/atau dihentikan demi hukum karena terdakwa meninggal dunia.

Dosen Fakultas Hukum UII Arif Setiawan mengatakan bahwa putusan MK terkait dengan batas waktu penyidikan kasus tipikor oleh KPK membuat kasus-kasus tindak pidana korupsi mudah dihentikan.

"Misalnya, ada penyidikan masuk, begitu sudah ada sprindik atau SPDP, tunggu beberapa lama, tidak usah diapa-apakan, dan itu bisa dihentikan. Ini yang menurut kami berbahaya sekali karena cukup dengan melampaui batas waktu 2 tahun," katanya.

Baca juga: Dua hal baru dari KPK: SP3 dan penyuluh antikorupsi di penjara

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021