Jakarta (ANTARA) - Tersangka kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (persero) Benny Tjokrosaputro mengadukan majelis hakim yang mengadili kasusnya ke Dewan Pengawas Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) karena merasa diperlakukan tidak adil dan tidak profesional.

"Majelis Hakim tidak profesional, tidak didukung keahlian atas dasar pengetahuan, tidak memiliki keterampilan dan wawasan yang luas dalam menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada Benny Tjokrosaputro dengan tindak pidana korupsi," kata Kuasa Hukum Benny Tjokrosaputro, Fajar Gora, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta Selasa.

Majelis Hakim yang diadukan ialah Rosmina sebagai ketua majelis,serta Ignatius Eko Purwanto, Susanti Arsi Wibawani, H. Sigit Herman Binaji dan Sukartono sebagai anggota majelis.

Menurut Gora, tidak profesionalnya hakim terlihat dari majelis hakim membuat "pertimbangan" putusan yang buruk dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Padahal, untuk menilai kualitas dan profesionalitas hakim ialah dengan melihat pertimbangan hukum dari suatu putusan yang dibuatnya.

Baca juga: Benny Tjokro divonis penjara seumur hidup dalam perkara Jiwasraya

Ia menilai ironis ketika Majelis Hakim menghukum penjara seumur hidup Benny Tjokrosaputro hanya dengan menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 2012 yang sebetulnya masih ditunda berlakunya. Bahkan sengaja dipenggal ketentuannya hanya sekadar untuk menghukum kliennya.

Ia mengibaratkan Benny Tjokrosaputro telah dihukum penjara seumur hidup hanya dengan Surat Edaran di lingkungan Mahkamah Agung. Surat itu sebenarnya hanyalah petunjuk teknis sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan dan bukan termasuk jenis peraturan perundang-undangan.

Kekeliruan fatal yang dilakukan Majelis Hakim ketika memberikan pertimbangan hukum terkait unsur merugikan keuangan negara karena masih menggunakan delik formil. Padahal setelah adanya putusan MK Nomor 25/ PUU-XIV/2016 dalam menghitung kerugian negara tidak lagi menggunakan delik formil tetapi menggunakan delik materiil.

"Artinya kerugian keuangan negara harus dibuktikan secara nyata dan tidak lagi bersifat potensi," ujarnya.

Dalam kasus Benny Tjokrosaputro, kata Gora, pertimbangan putusan Majelis Hakim secara jelas menyatakan tidak terbukti adanya kerugian negara secara nyata tetapi menghukumnya seumur hidup hanya dengan kerugian negara yang masih bersifat potensi atau belum nyata.

Baca juga: Hakim: Benny Tjokro lakukan kolaborasi jahat korupsi Jiwasraya

Selain itu, Majelis Hakim dinilai tidak profesional karena dalam putusannya tidak mampu memisahkan harta benda yang dirampas negara merupakan milik pribadi atau milik perusahaan kliennya.

Padahal, yang diputus bersalah adalah Benny Tjokrosaputro sebagai pribadi. Akan tetapi dalam putusan harta benda yang tercatat dan terdaftar atas nama perusahaan Benny Tjokrosuanto maupun perusahaan milik pihak ketiga juga dirampas untuk Negara.

Di samping itu, dalam mengadili dan menghukum Benny Tjokrosaputro, Majelis Hakim tentunya harus dibekali, mengerti dan memahami pengetahuannya tentang pasar modal.

Apabila syarat pengetahuan pasar modal tidak dimiliki, maka Majelis Hakim melakukan kekeliruan dalam menjatuhkan putusan.

Pelanggaran lain yang dilakukan Majelis Hakim ialah keliru atau salah dalam menilai alat bukti terkait unsur niat jahat. Fakta persidangan terungkap tidak ada hubungan kedekatan dan pertemuan yang intens atau sering terjadi antara Benny Tjokrosaputro dengan Heru Hidayat, Joko Hartono Tirto, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, Syahmirwan dan pihak-pihak lainnya.

"Dengan demikian hukuman pidana penjara seumur hidup terhadap Benny Tjokrosaputro sangat terlihat hanya semata-mata bertujuan untuk menghukumnya dengan mengakomodir ekspektasi publik," ujar dia.

Baca juga: Benny Tjokro ajukan banding atas vonis seumur hidup

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021