Keputusan untuk membuka kembali sekolah diserahkan kepada daerah dan atas izin orang tua dengan menerapkan protokol kesehatan
Jakarta (ANTARA) - Menjelang berakhirnya libur panjang kenaikan kelas menuju tahun ajaran baru biasanya stasiun televisi sudah diramaikan oleh tayangan iklan yang membawa pesan untuk bersiap kembali ke sekolah. Apakah itu berupa tayangan iklan yang memromosikan sepatu baru, alat tulis, buku hingga tas dan kebutuhan sekolah lainnya.

Tayangan iklan untuk mengajak berbelanja kebutuhan sekolah itu, kini kehilangan daya tarik karena sejak pandemi COVID-19 merebak telah memumpuskan harapan untuk kembali ke sekolah seperti masa sebelum terjadi wabah virus corona karena sekolah-sekolah dan kampus ditutup sementara demi mencegah penularan masif.

Dampak pandemi COVID-19 telah mengubah tatanan kehidupan normal karena setiap orang mulai dari anak-anak, dewasa hingga orang tua harus melakukan banyak penyesuaian agar terhindar dari terpapar virus corona jenis baru penyebab COVID-19 yang telah menelan banyak korban jiwa di seluruh dunia.

Lebih dari 60 juta murid di Indonesia untuk sementara waktu tidak pergi ke sekolah karena COVID-19. Para murid sekolah, baik di desa maupun di kota, sejak Maret 2020 harus belajar dari rumah karena alasan belajar di sekolah menjadi salah satu sumber penyebaran virus corona yang berpotensi menimbulkan klaster-klaster baru.

Belajar dari rumah mengandalkan jaringan internet agar bisa mengakses materi pelajaran dari para guru yang kemudian dikenal istilah pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan belajar dalam jaringan (daring) untuk merujuk pada kegiatan tersebut. Cara belajar dengan pola jarak jauh memaksa siswa melakukan adaptasi dengan berbagai tantangan berat sehingga menimbulkan dampak yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap keberlangsungan pendidikan mereka.

Perubahan cara belajar secara drastis itu membuat siswa, guru dan orang tua merasa tidak siap melakukan pembelajaran jarak jauh akibat gagap teknologi, kendala dalam penyampaian informasi sehingga materi sulit dimengerti dan adanya kesenjangan ilmu pengetahuan. Hambatan terbesar yang dihadapi saat belajar daring terkait keterbatasan akses internet dan perangkat elektronik pendukung.

Kebijakan belajar daring telah diantisipasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan menggandeng perusahaan telekomunikasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, TVRI, PLN, pemerintah daerah serta swasta untuk menyiapkan dukungan layanan internet, membuat program yang ditayangkan melalui siaran TVRI, memperbanyak akses internet di ruang publik.

Dukungan untuk pembelajaran daring yang dilakukan pemerintah pada kenyataannya belum bisa berjalan semulus yang diharapkan karena lagi-lagi faktor ketidaksiapan peserta didik, guru dan orang tua sebagai pendamping.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui sebuah survei yang dilaksanakan pada April 2020 menerima sebanyak 246 pengaduan terkait kegiatan belajar mengajar (KBM) dari rumah selama pandemi.

Beberapa pengaduan yang masuk mengungkapkan fakta bahwa banyak siswa mengalami tekanan secara psikologi terkait tugas yang menumpuk dengan waktu pengumpulan yang dekat, persoalan lain terkait masalah kuota internet, demikian juga peserta didik mengalami kesulitan memahami materi dalam waktu belajar daring yang relatif singkat.

Kondisi belajar dari rumah tersebut, disebut Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyebabkan banyak siswa mengalami tekanan secara psikologi hingga putus sekolah karena berbagai masalah yang muncul selama mengikuti belajar jarak jauh.

Fakta menunjukkan, bahwa banyak guru tetap mengejar ketuntasan kurikulum dengan cara memberikan tugas terus menerus pada siswa mereka selama belajar daring karena guru dan sekolah tetap mengejar ketercapaian kurikulum meski di tengah kesulitan yang dialami masyarakat akibat dampak pandemi.

Padahal, Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 4 Tahun 2020 menyebutkan bahwa selama belajar daring, guru tidak boleh mengejar ketercapaian kurikulum karena keterbatasan waktu, sarana, media pembelajaran dan lingkungan yang dapat menjadi kendala selama proses pembelajaran.


Tatap muka terbaik

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sejak awal pandemi COVID-19 telah menegaskan bila pembelajaran tatap muka adalah metode terbaik yang tidak bisa tergantikan. Nadiem meyakinkan masyarakat bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) hanya dilaksanakan selama pandemi COVID-19 dengan melihat perkembangan situasi.

Sejak pelaksanaan PJJ sempat timbul kekhawatiran masyarakat apabila pembelajaran daring itu akan dijadikan permanen padahal secara teknologi dan kesiapan guru masih jauh dari memadai. Demikian pula, dari sisi peserta didik dan orang tua sebagai pendamping merasa keberatan karena dinilai kurang efektif.

Survei dari Indonesia Political Opinion (IPO) yang dilaksanakan 20 Maret - 30 Maret 2021 menyebutkan sebanyak 94 persen responden ingin agar sekolah kembali dibuka dan setuju dengan kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Hasil survei menyebutkan mayoritas publik menginginkan sekolah kembali dibuka, hanya enam persen yang menyatakan tidak setuju, sebanyak 94 persennya setuju.

Sebelumnya, Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) pada 18-29 Mei 2020 dan 5-8 Juni 2020 melaksanakan survei dengan menerima lebih dari 4.000 tanggapan dari siswa di 34 provinsi Indonesia, melalui kanal U-Report yang terdiri atas layanan pesan singkat (SMS), WhatsApp, dan Messenger.

Hasil survei menyebut, sebanyak 66 persen dari 60 juta siswa dari berbagai jenjang pendidikan di 34 propinsi mengaku tidak nyaman belajar di rumah selama pandemi COVID-19. Dari jumlah tersebut, 87 persen siswa ingin segera kembali belajar di sekolah.

Survei itu menyebutkan 38 persen siswa yang jadi responden mengatakan kekurangan bimbingan dari guru menjadi kendala utama. Sementara 35 persen lainnya menyebutkan akses internet yang buruk.

Seiring dimulainya pelaksanaan vaksinasi COVID-19, Mendikbud Nadiem Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI mengatakan sekolah wajib memberikan pilihan pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas setelah mayoritas guru dan tenaga kependidikan menerima vaksin dosis kedua dan selambatnya tahun ajaran baru.

Guru dan tenaga kependidikan masuk prioritas atas dukungan Presiden Joko Widodo sebanyak 5,5 juta guru pada Juni sampai Juli sudah seluruhnya divaksin sehingga diharapkan sekolah-sekolah sudah bisa menerima kembali peserta didik untuk pembelajaran tatap muka.

Lampu hijau untuk kembali ke sekolah sebenarnya sudah diisyaratkan Mendikbud Nadiem Makarim sejak Januari 2021 bagi sekolah-sekolah di Tanah Air, terutama di wilayah-wilayah dengan peta zona hijau COVID-19.

Keputusan untuk membuka kembali sekolah diserahkan kepada daerah dan atas izin orang tua dengan menerapkan protokol kesehatan, menyiapkan Satgas COVID-19 satuan pendidikan yang melakukan pemeriksaan rutin dan menghentikan pembelajaran tatap mula bila ditemukan kasus COVID-19 di lingkungan sekolah.

Indonesia sudah sangat tertinggal dalam kebijakan pembukaan sekolah dibanding negara-negara lain yang juga terdampak pandemi COVID-19. Demi mengejar ketertinggalan itu sekaligus pengobat rindu, kembali ke sekolah menjadi harga mahal yang harus ditebus di masa pandemi ini.

Baca juga: Komisi VIII DPR RI tekankan pentingnya prokes ketat sekolah tatap muka

Baca juga: Rossa belum izinkan buah hati sekolah tatap muka

Baca juga: Kemendikbud: Sekolah harus miliki gugus tugas sebelum PTM terbatas

Baca juga: Siswa positif COVID-19, satu sekolah tatap muka di Batam ditutup lagi

Copyright © ANTARA 2021