Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia Prof Valina Singka pada sebuah sesi diskusi bersama beberapa praktisi dan politisi mempertanyakan motif kelompok tertentu yang menyebar wacana amandemen kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke publik.

Ia berpendapat keinginan mengubah pasal-pasal pada konstitusi negara harus didorong oleh kebutuhan menyelesaikan masalah yang saat ini dihadapi oleh masyarakat.

"Itu harus jelas, bagian mana yang diusulkan (untuk) diamandemen dan alasannya. Itu yang harus dikejar. Bagian mana dan apa alasannya," kata Prof Valina saat sesi bedah wacana Amandemen Terbatas UUD 1945 yang digelar oleh Forum Diskusi Denpasar 12 sebagaimana dipantau di Jakarta, Rabu.

Baca juga: MPR jelaskan wacana perubahan UUD 1945 hidupkan GBHN

Menurut dia, jika nantinya wacana amandemen UUD 1945 secara resmi diusulkan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), maka anggota parlemen harus melakukan evaluasi dan pendalaman terkait alasan-alasan mengubah konstitusi negara.

"(Jika wacana itu resmi diusulkan, Red) perlu dilakukan evaluasi apa persoalan kebangsaan kita yang muncul sekarang ini. Apakah (masalah) itu diakibatkan oleh konstitusi atau oleh regulasi Undang-Undang belum sesuai maksud konstitusi. Apa soal leadership (kepemimpinan)? Apa soal budaya politiknya," sebut Prof Valina.

Ia lanjut menerangkan saat ini masyarakat Indonesia masih menghadapi masalah, seperti kemiskinan, kesenjangan, tidak meratanya distribusi kekayaan negara, dan politik transaksional yang kerap ditemukan dalam partai politik dan pemilihan umum.

"Ini semua apakah karena konstitusi atau sebetulnya bukan? Ini harus dilakukan evaluasi secara mendalam dari berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara," ujar pakar politik itu.

Jika memang tidak ada masalah mendesak yang disebabkan oleh konstitusi negara, maka usulan amandemen pun tidak dibutuhkan, demikian sinyal yang disampaikan Prof Valina pada sesi diskusi.

Baca juga: MPR bahas wacana amendemen UUD bersama Guru Besar UGM

Dalam kesempatan itu, ia mengingatkan amandemen konstitusi tahap pertama sampai keempat, yang menjadi amanah reformasi, tidak dapat dipisahkan dari upaya bersama membangun sistem politik agar lebih demokratis.

Prof Valina menerangkan reformasi konstitusi dan demokratisasi selalu terkait karena konstitusi sebagai hukum tertinggi sebuah negara mengatur pembatasan kekuasaan, termasuk di antaranya membatasi masa jabatan presiden sampai maksimal dua periode.

Prof Valina Singka merupakan salah satu pihak yang terlibat langsung dalam proses amandemen UUD 1945. Ia sempat menjabat sebagai anggota MPR Fraksi Utusan Golongan, yang kemudian ditugaskan oleh fraksi menjadi anggota Badan Pekerja MPR, khususnya panitia ad hoc 3.

Badan itu, beserta panitia ad hoc di dalamnya, dibentuk pada Sidang Umum MPR RI 1999, yang saat itu dipimpin oleh Amien Rais. Badan pekerja MPR saat itu menerima mandat mengamandemen beberapa pasal dalam UUD 1945, kata Prof Valina.

"Dua hal utama (amandemen) fokusnya memberdayakan Dewan Perwakilan Rakyat RI dan kedua membatasi kekuasaan presiden," ujar dia saat menceritakan alasan amandemen UUD 1945 pascajatuhnya Oder Baru.

Baca juga: DPR: Wacana amendemen UUD 1945 jangan untuk kepentingan politik sesaat

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021