edukasi gizi menjadi penting
Jakarta (ANTARA) - Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Dra Chairunnisa MKes mengajak masyarakat untuk memperhatikan kecukupan gizi anak dan generasi muda untuk menekan prevelensi stunting.

“Upaya penanggulangan stunting harus dimulai jauh ke belakang, yaitu dengan memberi perhatian pada kesehatan remaja dan terutama calon ibu. Sebab stunting bukan hanya persoalan saat anak mengalami persoalan gizi. Pencegahan stunting harus diawali dengan memastikan calon ibu benar-benar siap menghadapi 1.000 hari pertama kelahiran,” ujar Chariunnisa dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.

Perkembangan kesehatan saat remaja sangat menentukan kualitas seseorang untuk menjadi individu dewasa. Masalah gizi yang terjadi pada masa remaja akan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit di usia dewasa serta berisiko melahirkan generasi yang bermasalah gizi.

Merujuk pada Riskesdas tahun 2018, sekitar 65 persen remaja tidak sarapan, 97 persen kurang mengonsumsi sayur dan buah, kurang aktivitas fisik serta konsumsi gula, garam dan lemak (GGL) berlebihan. Pola konsumsi dan kebiasaan yang tidak baik tersebut mengakibatkan tingginya angka anemia pada remaja, yaitu 3 dari 10 remaja mengalami anemia. Anemia pada remaja akan menyebabkan timbulnya masalah kesehatan seperti penyakit tidak menular, produktivitas dan prestasi menurun, termasuk masalah kesuburan.

“Oleh karena itu, edukasi gizi menjadi penting, tidak hanya untuk ibu tapi juga remaja, milenial dan para calon orang tua. Hal ini juga sejalan dengan data UNICEF pada 2017, bahwa adanya perubahan pola makan seperti kenaikan konsumsi makanan tidak sehat seperti jenis makanan instan dan juga makanan tinggi kandungan GGL,” jelas dia.

Ia menjelaskan, banyak calon ibu yang tidak memiliki bekal pengetahuan yang cukup tentang gizi sehingga saat ini masih banyak ditemukan balita mengkonsumsi makanan instan sebagai asupan makanan sehari-hari.

Baca juga: Menghitung porsi nutrisi balita demi cegah stunting

Ia mencontohkan, banyak ibu yang memberikan kental manis sebagai minuman susu oleh balita bahkan bayi pun masih jamak ditemukan dengan frekwensi yang cukup tinggi dua hingga delapan gelas per hari. "Padahal kental manis bukanlah minuman untuk dikonsumsi anak mengingat kandungan gulanya yang cukup tinggi," katanya.

Kepala Pusat Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dr dr Hasto Wardoyo SpOG (K) mengatakan penting melakukan pengawalan bersama mengenai implementasi PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan kental manis.

“BKKBN harus betul-betul mengawal bersama, saya berharap PP Aisyiyah juga bisa mengawal dengan mendampingi keluarga-keluarga dan memperhatikan asupan gizi dari 0 hingga 24 bulan. Asupan protein dan gizi anak saat ini jauh dari harapan.

Hasto menekankan bahwa edukasi mengenai kental manis itu penting untuk disosialisasikan karena sebagian besar kandungan kental manis adalah gula.

Ketua Umum PP Ikatan Bidan Indonesia Dr Emi Nurjasman MKes, mengingatkan kepada bidan yang melakukan pemeriksaan kandungan ibu hamil, informasi-informasi tersebut harus disampaikan secara komprehensif.

“Pola hidup, pola makan, dan juga nutrisi yang sebaiknya dikonsumsi ataupun yang harus dihindari oleh ibu dan bayi,” terang dia.

Emi juga meminta hasil penelitian YAICI bersama PP Muslimat mengenai konsumsi kental manis pada balita untuk dapat dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait lainnya, agar ke depannya dapat mengeluarkan rekomendasi.

“Bisa saja nanti ada tambahan larangan kental manis tidak untuk dikonsumsi balita, serta di dalam kemasan harus ada peringatan juga,” jelas Emi Nurjasman.

Baca juga: Pengamat minta BPOM perketat regulasi kental manis

Sebelumnya YAICI bersama PP Aisyiyah telah melakukan penelitian mengenai konsumsi kental manis pada balita di beberapa wilayah di Indonesia. Penelitian dilakukan pada 2020 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTT dan Maluku.

Dari penelitian ditemukan 28,96 persen dari total responden mengatakan kental manis adalah susu pertumbuhan, dan sebanyak 16,97 persen ibu memberikan kental manis untuk anak setiap hari. Dari hasil penelitian juga ditemukan sumber kesalahan persepsi ibu, dimana sebanyak 48 persen ibu mengakui mengetahui kental manis sebagai minuman untuk anak adalah dari media, baik TV, majalah/ koran dan juga sosial media dan 16,5 persen mengatakan informasi tersebut didapat dari tenaga kesehatan.

Temuan menarik lainnya adalah, kategori usia yang paling banyak mengkonsumsi kental manis adalah usia 3 – 4 tahun sebanyak 26,1 persen, menyusul anak usia 2 – 3 tahun sebanyak 23,9 persen. Sementara konsumsi kental manis oleh anak usia 1 – 2 tahun sebanyak 9,5 persen, usia 4-5 tahun sebanyak 15,8 persen dan 6,9 persen anak usia 5 tahun mengkonsumsi kental manis sebagai minuman sehari-hari.

Dilihat dari kecukupan gizi, 13,4 persen anak yang mengkonsumsi kental manis mengalami gizi buruk, 26,7 persen berada pada kategori gizi kurang dan 35,2 persen adalah anak dengan gizi lebih.

Baca juga: Kemenkes dukung penegakan peraturan BPOM soal kental manis
Baca juga: Penelitian tunjukkan 28,9 persen ibu anggap SKM susu pertumbuhan


Pewarta: Indriani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021