karbon dalam fly ash dan bottom ash (FABA) menjadi minimum
Jakarta (ANTARA) - Abu dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masuk ke kategori bukan bahan berbahaya dan beracun (B3) karena telah melalui pembakaran dengan suhu tinggi dan memiliki kandungan karbon lebih minimal dan dapat dimanfaatkan menjadi produk lain, kata Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati.

"Kenapa dikategorikan sebagai limbah non-B3, pulverized coal yang punya PLTU, karena pembakaran batu bara di kegiatan PLTU pada temperatur tinggi sehingga karbon dalam fly ash dan bottom ash (FABA) menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan," kata Dirjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Vivien dalam taklimat media virtual, dipantau dari Jakarta, Jumat.

Hal itu menyebabkan FABA atau abu sisa pembakaran batu bara dapat dimanfaatkan menjadi bahan bangunan, substitusi semen, bahan aspal untuk jalan dan berbagai macam manfaat lain.

Sebelumnya, KLHK menegaskan tidak semua FABA kini dimasukkan dalam kategori non-B3. Hanya abu pembakaran di luar fasilitas stoker boiler atau tungku industri, seperti antara lain PLTU yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) atau chain grate stoker, yang dimasukkan dalam kategori non-B3.

Baca juga: KLHK bantah semua limbah abu batu bara dikeluarkan dari kategori B3

Baca juga: KLHK pastikan mitigasi dilakukan terkait masalah debu PLTU Suralaya


Sedangkan abu dari fasilitas stoker boiler tetap masuk dalam kategori limbah B3 dengan fly ash atau abu terbang memiliki kode limbah B409 dan bottom ash atau abu padat dengan kode B410.

FABA dari fasilitas stoker boiler masih masuk dalam kategori B3 karena belum memenuhi syarat karena masih dibakar dengan temperatur rendah sehingga kandungan karbonnya masih tinggi.

Aturan baru itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yang merupakan turunan Undang-Undang Cipta Kerja.

Dalam diskusi terpisah yang dilakukan pada hari ini, Fajri Fadhillah sebagai Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) berharap pemerintah mengkaji ulang keputusan tersebut.

Hal itu dikarenakan ada risiko bocor ke lingkungan di sekitar situs penghasil FABA dan membutuhkan pengujian untuk masing-masing yang dihasilkan dari PLTU untuk pemanfaatan.

"Tingkat bahaya atau beracun abu batu bara bisa jadi berbeda-beda antara pembangkit, tergantung pada jenis batu baranya, teknologi pembakarannya dan alat pengendali pencemaran udaranya," tegas Fajri.

Baca juga: Pencucian batu bara dengan 'Chance Cone' kurangi abu

Baca juga: Potensi limbah abu yang terganjal peraturan lingkungan

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021